Ahad 17 Dec 2017 10:16 WIB

Curhatan Keluh Kesah Guru Agama di Perbatasan Tanah Borneo

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Guru di daerah terpencil. (ilustrasi)
Foto: www.komhukum.com
Guru di daerah terpencil. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Direktorat Pendidikan Agama Kementerian Agama telah mengirimkan 60 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam program visitting teacher 2017. Puluhan guru tersebut dikirim ke sejumlah daerah Terpencil, Terluar, dan Tertinggal (3T) yang ada di Indonesia untuk meningkatkan guru pendidikan pendidikan agama Islam di sekolah.

Guru agama asal Tidore, Rosnaini dan guru agama dari Palu, Chadijah Alhasni misalnya dikirimkan Kemenag ke daerah perbatasan yang ada di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di Pulau Borneo ini mereka sempat mengunjungi SMA 1 Badau yang berada di Kecamatan Badau, suatu daerah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Perjalanan dari Bandara Pangsuma Puttusibau ke daerah ini, mereka tempuh kurang lebih 4 jam dengan jarak sekitar 193 kilometer. Keduanya pun bertemu dengan salah satu guru agama di sekolah SMAI 1 Badau, Usmanto.

Usmanto mengaku, bersyukur bisa mengajar di sekolah yang bisa dikatakan semi plural tersebut, yang mana siswanya terdiri Muslim dan Non Muslim. Namun, menurut dia, sarana dan prasarana di sekolah masih sangat kurang, termasuk untuk menunjang kegiatan siswa yang beragama Islam.

"Dukanya sarana prasarana pendukung proses belajar mengajar yang minim, mulai dari tempat ibadah, Alquran, buku paket dan buku keagamaan," ujar Usmanto saat ditemui kedua guru program visitor tersebut di sekolah SMA 1 Badau, Sabtu (17/12) kemarin.

Siswa SMA 1 Badau secara keseluruhan berjumlah 234, siswa yang Muslim berjumlah 152. Namun, dengan tidak adanya mushalla atau surau tersebut membuat siswa yang beragama Islam sulit untuk menunaikan shalat dzuhur dan mengamalkan ajaran agama Islam.

Kurangnya sarana prasarana keagamaan ini menjadi perhatian guru visitor yang dikirim Direktorat Pendidikan Agama Islam tersebut. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan keluh kesah guru agama di daerah perbatasan nantinya akan dilaporkan ke pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti.

Salah satu guru program visitor, Chadijah menjelaskan lebih lanjut bahwa selain tidak adanya mushalla atau tempat shalat, siswa sekolah SMA1 Badau juga masih banyak yang belum bisa membaca Alquran. Karena itu, guru visitor mengusulkan agar Usmanto membuat program ekstrakurikuler Baca Tulis Al Qur'an (BTQ).

Namun, menurut Chadijah, karena kekurangan guru Usmanto sendiri merangkap berbagai mata pelajaran di sekolah tersebut, sehingga tidak bisa membagi waktunya untuk mengadakan program ekatrakurikuler semacam itu. "Karena itu solusi yang kami tawarkan sekolah bina kerjasama dengan penyuluh Bimas Islam yang sudah ada untuk membina siswa membaca Alquran," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad (17/12).

Selain mengunjungi sekolah perbatasan tersebut, Chadijah dan Rosnaini juga mengumpulkan guru agama yang ada di Kecamatan Puttusibau. Pengumpulan guru agama tersebut dalam rangka mensosialisikan penerapan kurikulum 2013 (K13).

Rosnaini mengatakan, bahwa sekolah di Kabupaten Kapuas Hulu memang masih banyak kekurangan sarana dan prasarana untuk menunjang pemahaman keislaman yang moderat. Selain itu, kata dia, juga masih banyak guru yang belum bisa menggunakan sistem pengajaran kurikulum 2013, yang mana menekankan pembentukan karakter serta membuat siswa lebih kritis.

Karena itu, ia berharap, kepada pemerintah untuk menyelenggarajan kegiatan program visiting ini setiap tahun. Karena, menurut dia, guru agama di perbatasan bahkan belum mengenal istilah-istilah dalam K13. "Untuk sosialisasi kurikulum 13 ini mereka bahkan banyak yang belum ikut pelatihan. Jadi, mereka selama ini tidak tahu. Tapi mereka senang ikut pelatihan ini," ucapnya.

Dalam kegiatan sosiliasi K13 tersebut, guru agama yang mengajar di SMKN 2 Puttusibau, Rinawati juga menyampaikan keluh kesahnya. Rata-rata siswa di sekolah tersebut beragama non Muslim, yaitu agama Kristen 70 persen, Protestan 15 persen, Islam 10 persen, dan penghayat kepercayaan 5 persen.

Menurut dia, dari siswa Muslim yang hanya 10 persen tersebut juga masih ada yang belum bisa membaca Alquran dan saat di luar sekolah jarang yang mengamalkan agama Islam seperti mendirikan shalat lima waktu. Kendati demikian, menurut dia, sikap toleransi mereka sangat tinggi.

"Namun ada yang menonjol dari semua siswa yaitu sikap toleransinya. Walaupun berbeda-beda agama tetap satu jua," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement