Senin 18 Dec 2017 05:15 WIB

IKADI Dukung Standardisasi Penceramah di Televisi

Rep: Muhyiddin/ Red: Andi Nur Aminah
Ahmad Satori Ismail, Ketua Ikatan dai Indonesia
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ahmad Satori Ismail, Ketua Ikatan dai Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bersama Kementerian Agama dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan melakukan standarisasi penceramah yang akan tayang di televisi atau media elektronik lainnya. Dengan kebijakan baru ini, program dakwah yang ada di televisi bisa lebih berkualitas dalam menyampaikan ajaran Islam.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Satori Ismail menanggapi positif dan mendukung upaya ulama dan pemerintah yang ingin membuat standarisasi penceramah tersebut. "Bagus saja itu. Kalau ada standarisasi artinya yang berbicara di situ adalah orang-orang yang berkompeten. Jadi bukan masalah hiburannya atau lucunya, tapi standardisasinya," ujar Satori saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (17/12).

Menurut Satori, penceramah yang kompeten untuk tampil dalam program televisi haruslah penceramah yang memiliki latar belakang yang jelas dan memang ahli dalam agama. Dia juga bisa membaca Alquran dengan baik, dan juga mempunyai pemahaman keislaman secara global.

"Standardisasi itu bagus baca Alqurannya. Kadang-kadang ini kan baca Alqurannya enggak fasih, sehingga salah bacaanya, kan bisa menjadi salah maknanya. Nah itu saya yakin suatu hal yang baik kalau ada aturan standarnya seperti itu," ucapnya.

Dengan adanya standarisasi penceramah itu, Satori berharap kedepannya tidak ada lagi penceramah yang salah dalam menyampaikan ajaran Islam. Karena itu, menurut dia, penceramah juga tidak boleh terlalu banyak mengedepankan hiburan. "Harapan saya bahwa orang yang menyampaikan ajaran Islam di TV adalah orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang agama. Jadi tidak setengah-setengah dan tidak mengutamakan hiburan, banyolan atau lelucon," katanya.

Selain itu, tambah dia, seorang penceramah di televisi juga tidak boleh membicarakan politik praktis dan juga hal-hal yang dapat memecah persatuan umat, seperti haknya mengangkat isu Suku Agama Ras dan antargolongan (SARA). "Yang jelas penceramah adalah orang yang berkompeten dan berbicara hal-hal yang bermanfaat bagi umat untuk bangsa dan negeri ini, sehingga arahannya baik," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement