REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertemu dengan penerbit Yudhistira terkait pelaporan buku IPS kelas VI yang memuat Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Bertempat di KPAI pada hari Senin (18/12) pihak penerbit menyatakan permintaan maafnya dan mengakui kekeliruannya.
"Setelah mendalami pelaporan dan bukti yang terkait buku IPS kelas VI yang memuat Yerusalem sebagai ibu kota Israel KPAI dan penerbit Yudistira yang diwakili oleh Djadja Subagdja bertemu dan membahas mengenai buku tersebut," ujar Retno Listyarti selaku Komisioner KPAI bidang Pendidikan dalam siaran tertulis yang didapat Republika.co.id, Selasa (19/12).
Berdasarkan data dan keterangan dari penerbit terdapat beberapa hasil dari pertemuan tersebut. Pihak penerbit Yudhistira telah meminta maaf dan mengakui bahwa buku yang dilaporkan ke KPAI adalah buku terbitan Yudistira dan telah memuat bahasan negara-negara di Benua Asia dan menampilkan tabel negara-negara di Benua Asia.
Tabel tersebut terdiri atas 3 kolom yaitu kolom nomor, nama negara dan nama ibukota negara. Nama negara diurut sesuai abjad dan negara Israel yang berada pada urutan nomor 7 dikolom ibu kotanya tertulis Yerusalem. Sedangkan Negara Palestina di urutan no 12 dengan ibu kotanya hanya diisi tanda strip (-) alias kosong.
"Buku tersebut diakui penerbit belum didaftarkan ke Pusat Buku dan Kurikulum (Pusbukkur Kemendikbud RI) sehingga Penerbit Yudistira menyatakan bertanggungjawab penuh atas isi buku tersebut dan sudah melakukan revisi buku tersebut. KPAI sendiri diberikan 1 eksemplar sebagai bukti Revisi," lanjut Retno.
Revisi yang tertulis di buku yang baru adalah Ibu kota Israel tertulis Tel Aviv dan ibu kota Palestina yaitu Yerusalem. Penerbit Yudistira ternyata sudah mengirimkan surat penjelasan resmi bernomor 12/Pnb-YGI/XII/2017 tertanggal 12 Desember 2017 yang menyatakan bahwa sumber data negara Israel ibu kotanya Yerusalem diambil dari world population sheet 2010.
Selanjutnya sumber diakui oleh pihak Yudistira sebagai sumber yang tidak tepat digunakan sebagai referensi penulisan sebuah buku. Pihak penerbit Yudistira juga menyatakan akan menarik buku-bukunya dan mengganti dengan buku yang baru yang sudah direvisi.
Akan tetapi saat ini masih terkendala akhir tahun dan banyak sekolah sudah sibuk mengisi rapor dan akan melakukan pembagian rapor semester ganjil. Kemungkinan besar penerbit baru bisa menarik dan mendistribusikan buku pengganti pada Januari 2018. Penerbit berjanji akan melaporkan proses tersebut ke KPAI sebagai lembaga pengawas.
"Sedangkan untuk buku yang dicetak oleh Intan Pariwara, KPAI mendapatkan penjelasan dari pihak Intan Pariwara melalui email bahwa mereka hanya memperbanyak naskah buku BSE dari pemerintah. Artinya Intan Pariwara hanya mencetak bukan sebagai penerbit," ujar Retno.
Program buku Sekolah Elektronik (BSE) sendiri adalah program yang diluncurkan pada era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyoni. Dalam program BSE kala itu Kemendiknas melalui Pusat Perbukuan membeli naskah-naskah buku dari para penulis, kemudian diunggah di laman website Kemendiknas dan para penerbit diijinkan memperbanyak secara gratis.
Dikatakan oleh Retno maksud dan tujuan pembelian hak cipta naskah buku oleh pemerintah patut diapresiasi karena bertujuan untuk menekan harga buku pelajaran. Namun sayangnya proses seleksi dan penilaian bukunya diduga memiliki kelemahan pada penelaahan isi dan editan.