REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berharap akte kelahiran menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk pemenuhan hak-hak anak. Koordinator Hak Sipil, KPAI, Jasra Putra melaporkan tidak tercapainya target pemerintah pada tahun ini dalam pemenuhan lembar akta lahir.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2019, target pemerintah terkait pemenuhan hak sipil anak untuk akta kelahiran di angka 85 persen sebanyak 3.085.343 lembar akta. Sampai saat ini pemerintah dan pemerintah daerah baru memenuhi hak akta lahir anak sebanyak 65.153.812 lembar akta.
"Kami sangat mengharapkan Menteri Dalam Negeri yang pernah menyampaikan kepada bawahannya akan capaian 85 persen dapat dicapai tahun ini, karena di 2018 dan 2019 pemerintah disibukkan dengan pilkada ataupun pilpres," ujarnya di konferensi media Catatan Kahir Tahun KPAI, di Jakarta, Senin (18/12)
Setelah dilakukan kajian bersama Universitas Indonesia ke beberapa daerah, capaian tiga juta akta tidak bisa dicapai tahun ini. Mengingat total anak Indonesia mencapai 83,9 juta orang. Target RPJM 2019 tidak akan terealisasi, malah pemerintah memiliki hutang pemenuhan akta sebesar 18 juta akte lahir.
Hak sipil anak seperti akta lahir ini menurutnya bentuk pelayanan negara yang juga sangat penting dan harus diperhatikan serta diketahui karena akan mendorong kepada sumber-sumber hak anak lain semisal soal pendiikan, kesehatan, dan bantuan sosial. "Bahkan data Bapenas dan Unicef 2017 angka usia menikah mencapai 12 pesen, itu sangat tinggi. Jadi tidak bisa dielakkan akta lahir juga harusnya banyak," ujarnya.
Untuk itu ke depannya Jasra mengatakan sesuai UU perlindungan anak, KPAI menyarankan birokrasi yang mudah. Pencatatan akta kelahiran paling akhir menurutnya ada di tingkat desa dan kelurahan.
Namun fakta setelah dilakukan pengawasan di Kabupaten Bogor dengan target 1,3 juta akta, baru 700 ribu capaian disebabkan basis membuat akte hanya di tingkat Kabupaten. "Ini sangat menghambat, dari sisi birokrasi, tidak sampai pelayanan di tingkat desa, tidak seperti ktp-elrktronik," ujarnya.
Faktor lain terhambatnya pencapaian tiga juta akta adalah masih banyaknya Peraturan Daerah yang melakukan pungutan terhadap keterlambatan pembuatan akta lahir. Meskipun biaya yang dipatok Rp 10 ribu, hal tersebut menjadi hambatan capian akta menjadi minim.
Survey juga mengatakan 40 persen proses pengurusan akta lahir masih mahal, terlebih lagi di daerah tertinggal, terpencil dan terluar. Hanya delapan persen dari survey Puskapa UI yang menjatuhkan faktor pada hambatan birokrasi daripada geografis dan budaya. "Untuk itu kami berharap dengan hak sipil anak, pintu masuk kehadiran negara dalam pemenuhan hak-hak berikutnya mudah-mudahan ini menjadi pengawasan kita di KPAI," tutupnya.