REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menggelar rapat pimpinan untuk membahas lebih lanjut terkait kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Ketua MUI Bidang Hubungangan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi mengatakan, bahwa pihaknya sudah sepakat untuk mempertahankan dan melaksanakan poin-poin dalam petisi yang sudah diserahkan ke Kedutaan Amerika Serikat (AS) pada Senin (18/12) kemarin. Petisi tersebut diterima Kuasa Usaha kedutaan Besar AS, Erin Mckee.
Saat ini, menurut dia, MUI sedang menunggu respons dari Majelis Umum Persikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan langkah-lanngkah selanjutnya. Majelis Umum PBB tersebut adalah salah satu dari enam badan utama PBB. Majelis ini terdiri dari anggota dari seluruh negara anggota dan bertemu setiap tahun di bawah seorang Presiden Majelis Umum PBB yang dipilih dari wakil-wakil.
"Kita menunggu respon dari Majelis Umum PBB. Karena, Majelis UMum PBB akan mengadakan pertemuan hari Kamis (21/12) tentang masalah ini," ujarnya saat ditemui Republika.co.id usai rapat pimpinan di Kantor MUI Pusat, Selasa (19/12).
MUI juga mendorong agar Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan juga Presiden Joko Widodo untuk terus melakukan lobi dengan kepala negara lainnya untuk menolak kebijakan Trump tersebut dan tidak memindahkan Kantor Kedutaannya yang ada di Tel Aviv ke Yerusalem.
"Tentu saja kita akan melakukan lobi-lobi tingkat tinggi, ya Menteri Luar Negeri dan Presiden akan melakukan komunikasi dengan kepala-kepala negara di dunia ini," katanya.
Diketahui, setidaknya ada tujuh poin dalam petisi MUI yang diserahkan kepada Kedubes AS. Di antaranya, jika Trump tidak mencabut keputusan yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, maka MUI mendesak PBB agar segera menggelar sidang istimewa untuk memberikan sanksi tegas kepada Amerika Serikat dengan opsi pembekuan Amerika Serikat sebagai anggota PBB, atau pemindahan markas PBB dari Amerika Serikat ke negara lain.