REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayyid Qutb merupakan figur yang langka. Kalangan Barat kerap menudingnya sebagai pelopor radikalisme Islam. Sementara itu, sebagian kaum Muslim mengaguminya sebagai penyeru keadilan dan kebangkitan umat Islam pada abad modern. Bagaimanapun, pria yang lahir pada 9 Oktober 1906 ini dikenang sebagai pribadi yang tegas, konsisten, dan menginspirasi.
Sebelum namanya masyhur sebagai aktivis Muslim, Sayyid Qutb merupakan penyair sekaligus kritikus sastra yang berpengaruh. Seperti dituturkan Adnan Ayyub Musallam dalam disertasinya untuk University of Michigan (1983), sekitar 1940-an Sayyid Qutb sudah memimpin jurnal sastra yang prestisius di Mesir, al-Risalah. Pada 1946, sosok bernama lengkap Sayyid Qutb Ibrahim Husain Shadhili ini juga menerbitkan autobiografi yang berjudul Thifl min al-qaryah (Anak Desa).
Dalam buku tersebut, dia memaparkan kisah masa kecilnya sebagai bocah asal Desa Musha. Daerah ini terletak di sisi barat Sungai Nil, antara Kairo dan Aswan. Sebagaimana kehidupan rural Mesir pada awal abad ke-20, kampung halaman Sayyid Qutb dihuni masyarakat yang tradisional dan religius. Ayahnya, Qutb Ibrahim, bekerja sebagai petani, sedangkan ibunya, Fatimah, mengurus rumah tangga.
Suatu hari, saat berusia 10 tahun Sayyid Qutb dipanggil ibunya. Kepada putra kesayangannya itu, Fatimah menyampaikan harapan agar kelak Sayyid Qutb menjadi orang yang sukses, baik secara reputasi maupun finansial. Rupanya, keluarga Ibrahim saat itu sedang menghadapi dilema keuangan karena dililit utang.
Bagaimanapun, Sayyid Qutb menaruh hormat yang begitu besar terhadap orang tuanya. Dalam sebuah bukunya, Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur'an, Sayyid Qutb mengenang ayahnya sebagai sosok yang saleh dan disiplin dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada dirinya. Demikian pula dengan ibunya. Fatimah mengajarkan kepada anak-anaknya, Hamidah, Aminah, Muhammad, dan Sayyid Qutb, tentang betapa pentingnya pendidikan untuk menaikkan harkat manusia.
Dalam bukunya, al-Taswir al-Fanni fi al Qur'an, Sayyid Qutb memuji sosok ibunda: (Aku mengenang) ketika engkau mengirimkanku ke sekolah terbaik di desa, dengan harapan besar bahwa Allah akan membuka hatiku sebagai penghafal Alquran dan memberkatiku dengan suara yang indah sehingga dapat membaca Alquran dengan merdu Sekarang, aku telah hafal Alquran, sehingga terpenuhilah sebagian keinginan engkau, Bunda.
Sayyid Qutb menempuh pendidikan dasar sejak berusia enam tahun. Orang tuanya mendaftarkannya ke sekolah formal, alih-alih tradisional. Kecerdasan Sayyid Qutb tampak menonjol di antara para murid, khususnya dalam matapelajaran bahasa dan sastra Arab serta mengaji Alquran.
Saat berusia 10 tahun, dia sudah didaulat sebagai penghafal Alquran. Daya tangkap Sayyid Qutb juga ditunjang dengan kecintaannya terhadap buku. Di luar sekolah, dia aktif di lingkungan masjid dengan rutin mengikuti shalat berjamaah serta ceramah-ceramah bersama sang ayah.
Peran ayahnya juga besar dalam membentuk pola pikir Sayyid Qutb muda. Musallam mengungkapkan, Qutb Ibrahim merupakan aktivis Partai Nasionalis Mesir, khususnya pada organisasi otonom al-Liwa. Semasa Perang Dunia I, kediaman Ibrahim kerap menjadi tempat pertemuan para anggota partai tersebut cabang Desa Musha. Inilah yang menimbulkan kesan mendalam pada diri Sayyid Qutb.
Lantaran pengaruh sang ayah, Sayyid Qutb sejak anak-anak juga menggemari buku-buku tentang nasionalisme. Dia bahkan sudah membaca sajak-sajak gubahan aktivis Tsabit al-Jurjani yang saat itu menjadi tahanan politik penguasa. Tulisan-tulisan karya sejarawan nasionalis Muhammad al-Khudari juga dilahapnya. Ketika revolusi Mesir yang dipimpin Saad Zaghlul terjadi pada 1919, dia bahkan menggubah beberapa sajak sederhana bertema nasionalisme. Dapat dikatakan bahwa Sayyid Qutb sudah mengerti dunia politik sejak masih belia.
Jiwa empati sosial Sayyid Qutb sudah terbina saat usia anak-anak. Memang, di lingkungan keluarganya, dia cukup dimanja. Apa saja permintaannya pasti dituruti selama keadaan memungkinkan. Namun, Sayyid Qutb enggan merasa diri istimewa. Dia berteman dengan siapa saja.
Salah satu sahabatnya kala itu, Jumah, merupakan anak dari keluarga miskin yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan. Jumah dan kawan-kawan kerap diajarkan membaca dan menulis oleh Sayyid Qutb. Bahkan, dia tidak jarang memberikan barang kepunyaannya kepada mereka. Musallam mencatat, di masa inilah Sayyid Qutb mulai menyadari, betapa kerasnya kehidupan kaum papa.
Saat berusia 15 tahun, Sayyid Qutb hijrah dari desanya ke Kairo. Di pinggiran kota tersebut, dia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman, seorang lulusan Universitas al-Azhar yang bekerja sebagai guru dan wartawan. Empat tahun lamanya Sayyid Qutb hidup menumpang sambil melanjutkan sekolah menengah. Pada 1928, dia lulus dan segera mendaftar pada Tajhiziyat Darul Ulum, untuk mempersiapkan diri ke Universitas al-Azhar.
Dalam masa tinggal di Kairo, Sayyid Qutb cukup produktif menulis dan membaca karya-karya sastra. Kumpulan puisi dan esainya mulai muncul sekira awal 1920-an di sejumlah media, utamanya al-Hayat al-Jadidahdan al-Balagh. Kecenderungan tulisan-tulisannya memihak pada pergerakan modernis, antara lain mazhab sastra Diwan yang dipunggawai Abbas Mahmud al-Aqqad. Pada faktanya, paman Sayyid Qutb dan al-Aqqad sama-sama anggota pada Partai Wafd yang berhaluan modern. Tidak jarang Sayyid Qutb menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi al-Aqqad setiap dia dan Husain Utsman bertamu.
Bagi Sayyid Qutb, sosok al-Aqqad merupakan gerbang menuju pemikiran terbuka. Sebagai sastrawan sekaligus aktivis partai, al-Aqqad berideologi dan standar kesastraan yang teguh. Atas sarannya pula, Sayyid Qutb berkonsen pada bentuk sastra prosa, alih-alih sajak yang khas budaya Arab-Mesir.
Sayyid Qutb juga mulai giat membaca karya-karya sastra dari Barat, utamanya genre novel, puisi modern, dan drama, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Lebih lanjut, dia semakin memperluas cakrawala dengan melahap buku-buku Barat tentang psikologi, teori evolusi, biologi, kimia, dan sains, semisal teori relativitas Einstein. Pada 1932, saat masih berstatus murid di Darul Ulum, dia menerbitkan karya penting pertamanya mengenai kritik sastra, Muhimmat asy-Syair fi al-Hayah.
Menurut Musallam, Sayyid Qutb memandang fungsi sastra sebagai penghubung antara apa-apa yang seharusnya dan yang senyatanya terjadi, serta mendekatkan manusia pada tujuan yang luhur. Dia juga tidak sejalan dengan ideologi sastra untuk sastra. Sayyid Qutb menegaskan, seorang sastrawan dengan kebebasan yang dimilikinya mesti peka terhadap kehidupan dan kondisi masyarakat di sekitarnya.
Akan tetapi, jelas Musallam, dia masih seturut dengan aliran romantik yang memandang seorang penyari berkedudukan lebih mulia ketimbang massa tanpa harus berjarak dengan mereka. Pada 1935, Sayyid Qutb menerbitkan antologi sajak-sajaknya yang telah tersebar di pelbagai media. Kumpulan puisi itu diberinya judul al-Syati al-Majhul (Pesisir yang tak ternamai). Tema eksistensi manusia yang gelisah akan makna kehidupan dan kematian cukup dominan dalam buku tersebut.
Pada masa itu, Sayyid Qutb sendiri dapat dikatakan sebagai intelektual yang gelisah. Di satu sisi, kegelisahan ini dapat bersumber dari konteks zamannya. Musallam mengutip komentar sejarawan Badawi bahwa situasi sosial-politik Mesir pada era 1930-an cukup merosot. Banyak kalangan penulis yang memilih tema kesepian karena putus asa dengan kondisi masyarakat yang pesimistis. Di sisi lain, melalui tulisan-tulisannya Sayyid Qutb merasa gelisah karena takut terlalu mengekor nama besar al-Aqqad. Betapapun begitu, al-Aqqad sendiri kerap menegaskan, akal budi manusia-lah yang akan menuntun jalan setiap penyair. Sejak 1940-an, hubungan Sayyid Qutb dengan mentor sastranya itu memang mulai merenggang.