Jumat 22 Dec 2017 20:45 WIB

Profesionalisme dalam Ajaran Rasul

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Rasulullah
Foto: wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada anggapan, Muslim yang taat adalah yang rajin berzikir, berdoa, shalat, baca Alquran, dan ritual ibadah lainnya. Mereka bertafakur memusatkan perhatian agar selalu dekat dengan-Nya. Namun sejatinya, Islam bukan hanya agama 'langit', melainkan menapak kuat di bumi.

Islam bersentuhan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Maka itu, Alquran dan hadis pun tidak dominan mengajarkan ibadah. Keduanya juga memberikan petunjuk serta bimbingan bagaimana umat Muslim membina aspek kehidupan sebaik-baiknya dalam kapasitas sebagai khalifah bumi.

Dalam kaitan ini, umat dituntut tampil di depan, memberikan teladan.  Umat harus mampu menunjukkan kualitas terbaik. Semua itu, sebut Dr Abdul Hamid Mursi melalui bukunya SDM Produktif, Pendekatan Alquran dan Sains, bisa diwujudkan bila Muslim giat dalam bekerja.

Pekerjaan manusia, menurut Abdul Hamid, adalah tugas rasio atau akal dan fisik. Jika manusia tidak bekerja, berarti ia tidak bisa memenuhi tugas hidupnya. Jadi, sangat beralasan jika Islam menganjurkan umat untuk bekerja. Pada struktur takwa, Islam senantiasa mengaitkan iman dengan amal saleh.

Itu telah tampak jelas dalam bentuk ritual ibadah. Bila pada kepercayaan lain ibadah dilakukan secara diam, tidak demikian halnya dalam Islam. Ritual ibadah kaum Muslim penuh dengan gerakan. Bisa dikatakan, sangat dinamis. Salah satunya ibadah shalat. Dari awal sampai akhir, shalat diiringi gerakan hampir seluruh bagian tubuh.

Begitu pula haji, ritual-ritualnya sarat gerakan fisik. Pendek kata, ibadah dalam Islam memiliki dimensi gerak, terutama kerja. Lebih jauh, hal ini juga harus merambah ke ranah sosial. Itulah mengapa, papar Abdul Hamid, pahala tertinggi bukan dari banyaknya porsi mengerjakan ritual ibadah, namun apakah nilai ibadah mampu terwujud nyata.

Rasulullah tak berhenti menganjurkan bekerja. Beliau berpesan agar pekerjaan itu dilakukan sebaik mungkin. Pada sebuah hadis riwayat Ahmad, tergambar jelas maksud Nabi Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang berkarya, jelasnya.

Tak tanggung-tanggung, Rasulullah menyandingkan pekerjaan yang dilakukan seseorang secara giat dan ikhlas dengan jihad. Barang siapa bekerja keras untuk keluarganya, ia seperti pejuang di jalan Allah SWT. Secara jelas, Alquran menerangkan bahwa pengemban risalah agama dan orang-orang beriman merupakan mereka yang berkarya.

Para nabi dan rasul, selain berjuang menyebarkan risalah Ilahi juga bekerja. Nabi Nuh, misalnya, dikenal sebagai perintis bidang industri kayu. Nabi Ibrahim adalah ahli dalam pembangunan gedung. Keahlian bekerja dimiliki pula oleh Nabi Yusuf. Ia  menguasai ilmu ekonomi dan mengabdi di istana kerajaan.

Rasulullah sendiri, sarat keahlian yang tak perlu diragukan lagi, yaitu dalam bidang perniagaan. Sebab,  ia menegaskan bahwa bekerja merupakan kewajiban. Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban yang lain, demikian hadis riwayat Thabrani.

Allah SWT telah membuka peluang seluas-luasnya bagi umat untuk memanfaatkan karunia di bumi. Dengan itu, sambung Abdul Hamid, diharapkan umat bisa mengangkat derajat hidupnya, tapi dengan syarat mutlak, harus dicapai melalui kerja keras. Hal ini terungkap dalam Surat Al-Mulk ayat 15.

Menurut ayat tersebut, Allah menjadikan bumi itu mudah bagi manusia. Maka itu, manusia mestinya berjalan di segala penjuru bumi dan memakan sebagian rezeki yang dianugerahkan oleh Allah. Hanya kepada Allah manusia kembali setelah mereka semua dibangkitkan.

Prinsip utama

Cendekiawan Muslim, Yusuf Al-Qaradhawi, merespons ayat tersebut dan melontarkan penjelasannya. Menurut dia, hendaknya umat Islam menjadikan hal itu sebagai prinsip utama. Maknanya, umat tidak boleh malas apalagi tidak bekerja. Tak bekerja atau malas untuk bekerja tak dibenarkan dengan dalih apa pun.

Juga dengan alasan karena seorang Muslim sibuk ibadah dan bertawakal, tegas ulama besar ini. Di antara yang dikecam dalam Islam, sambung Al-Qaradhawi, yakni seorang yang terus-menerus mengandalkan uluran tangan dari orang lain, padahal dirinya masih kuat dan bisa bekerja.

Mengutip hadis yang diriwayatkan Turmudzi, Al-Qaradhawi menegaskan, sedekah tak halal untuk orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan sempurna. Meminta-minta, termasuk dalam kategori tersebut. Nabi Muhammad sangat mengharamkan seorang Muslim untuk meminta-minta.

Sebab, langkah seperti itu bisa menurunkan harga diri dan kehormatan seorang Muslim. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip Islam yang mengedepankan karya dan kerja. Umat hendaknya membiasakan diri hidup penuh percaya diri tanpa bergantung pada orang lain, kata Al-Qaradhawi menegaskan.

Meski demikian, meminta-minta masih ditoleransi dalam batas tertentu. Ada syarat yang mengiringinya, seperti ditetapkan oleh Rasulullah. Pertama, dilakukan seorang yang menanggung beban berat maka boleh baginya meminta-minta hingga ia dapat mengatasinya, tapi sesudah itu berhenti.

Kedua, seseorang  tertimpa bahaya yang membinasakan hartanya. Meminta-minta boleh dia lakukan hingga mendapatkan suatu standar untuk hidup. Dan ketiga, seseorang yang dirundung kemiskinan sehingga ada tiga orang pandai dari kaumnya mengatakan, Si fulan ditimpa kemiskinan maka halal baginya meminta-minta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement