REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Oleh: Mahmud Yunus
Alkisah, suatu ketika gubernur Provinsi Himsh mengirim sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Isinya, "Amma ba'du. Sesungguhnya Provinsi Himsh telah hancur dan memerlukan perbaikan." Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz membalas, "Bentengilah ia dengan keadilan dan bersihkanlah jalan-jalannya dari kezaliman. Wassalam."
Balasan surat yang sangat cerdas. Betapa tidak? Untuk menanggulangi Provinsi Himsh yang telah hancur, Khalifah Umar bin Abdul Aziz "hanya" merekomendasikan satu jalan keluar, yakni tegakkanlah keadilan dan/atau berantaslah kezaliman! Rupanya, bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz, biang kerok kehancuran sebuah provinsi, bahkan sebuah negara, adalah tidak tegaknya keadilan dan/atau merajalelanya kezaliman.
Dalam pandangannya, semua itu berada di pundak hakim. Dengan begitu, hakim tidak bisa dijabat oleh sembarang orang. Para salaf ashshalih banyak yang tidak bersedia menjadi hakim karena khawatir tidak bisa berlaku adil. Mereka paham betapa berat azab yang akan ditimpakan kepada hakim yang zalim.
Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa diangkat sebagai hakim di antara manusia, maka ia (seakan-akan) telah disembelih tanpa menggunakan pisau." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim). Fudlail bin Iyad berkata, "Mestinya hari-hari seorang hakim itu hanya terbagi dua. Sehari di pengadilan dan sehari lagi ia habiskan untuk menangisi dirinya."
Pasalnya, sebagaimana dikemukakan Muhammad bin Washi', "Orang yang pertama kali dipanggil untuk dihisab pada hari kiamat adalah hakim." Dengan demikian, Makhul berkata, "Seandainya saya disuruh memilih antara menjadi hakim dan dipenggal leherku, niscaya saya lebih memilih dipenggal leher daripada menjadi hakim." Ayyub as-Sukhtiyani berkata, "Sungguh saya mendapati orang yang paling berilmu itu (adalah) orang yang paling kencang berlari menghindar dari jabatan (hakim) itu."
Buraidah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. Pertama, hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan putusan berdasarkan kebenaran (maka ia masuk surga). Kedua, hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia tidak menetapkan putusan berdasarkan kebenaran (maka ia masuk neraka). Ketiga, hakim yang menetapkan keputusan tanpa ilmu (maka ia masuk neraka).
Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah dosa hakim yang jahil itu? Dosanya ialah seharusnya ia tidak bersedia diangkat sebagai hakim sebelum ia berilmu." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim, Thabrani, dan Baihaqi).
Dalam Islam, hakim yang zalim adalah yang tidak menetapkan putusan berdasarkan apa yang duturunkan Allah. Firman Allah, "Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orangorang yang kafir." (QS al-Maidah [5] : 44). Menurut surah al-Maidah (5): 45, mereka itu adalah orangorang yang zalim, sedangkan menurut surah al- Maidah (5): 47, mereka itu adalah orang-orang yang fasik. Wallahu a'lam.