REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan suara bulat telah memberlakukan sanksi baru terhadap Korea Utara (Korut) pada Jumat (22/12) atas uji coba rudal balistik antarbenua pada 29 November lalu. Sanksi kali ini akan membatasi akses Korut terhadap produk minyak bumi dan minyak mentah, serta membatasai pendapatannya dari pekerja di luar negeri.
Resolusi DK PBB yang diadopsi dengan suara 15-0 ini melarang hampir 90 persen ekspor produk minyak sulingan ke Korut dan membatasinya hanya 500 ribu barel per tahun. Dalam revisi di menit-menit terakhir, resolusi ini juga menuntut pemulangan warga Korut yang bekerja di luar negeri dalam kurun waktu 24 bulan, bukan 12 bulan seperti yang diusulkan pertama kali.
Resolusi yang diajukan AS tersebut juga membatasi pasokan minyak mentah ke Korut sebanyak empat juta barel per tahun. DK PBB menyatakan siap memberikan pembatasan lagi jika Pyongyang kembali melakukan uji coba nuklir atau meluncurkan rudal.
Diplomat AS telah menjelaskan, mereka mencari solusi diplomatik namun juga mengusulkan resolusi sanksi baru yang lebih keras untuk meningkatkan tekanan terhadap pemimpin Korut, Kim Jong-un.
"Sanksi ini mengirimkan pesan yang jelas kepada Pyongyang, pembangkangan lebih lanjut akan mengundang hukuman dan isolasi lebih lanjut juga," kata Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, setelah pemungutan suara.
Utusan Korut untuk PBB belum menanggapi permintaan untuk memberikan komentar atas pemungutan suara tersebut. Sementara utusan Cina untuk PBB Wu Haitao, mengatakan ketegangan di semenanjung Korea telah melonjak tak terkendali dan dia mengulangi seruan Beijing untuk melakukan perundingan.
"Hanya dengan bertemu satu sama lain di tengah jalan dan melalui dialog dan konsultasi, pasti bisa ditemukan penyelesaian damai," kata Haitao.
Sejumlah pakar mengatakan sanksi baru tersebut dapat memberi dampak besar pada perekonomian Korut. "Jika ini diberlakukan, pembatasan minyak akan menghancurkan industri Korut, untuk warga Korut yang menggunakan generator di rumah atau untuk kegiatan produktif, dan untuk perusahaan milik negara yang melakukan hal yang sama," kata Peter Ward, seorang kolumnis untuk NK News.
Pemulangan paksa pekerja asing juga akan memotong sumber vital mata uang asing dan investasi tidak hanya untuk pemerintah tetapi juga untuk ekonomi pasar negara Korut yang sedang berkembang.
Cina, yang memasok sebagian besar minyak Korut, telah mendukung sejumlah sanksi PBB namun menolak permintaan AS untuk memotong pasokan minyak ke negara tetangganya itu.
Langkah untuk mengekang ekspor bahan bakar Cina ke Korut mungkin hanya akan berdampak terbatas setelah Cina National Petroleum Corp menghentikan penjualan diesel dan bensin ke Korut pada Juni lalu, karena kekhawatiran akan tidak dibayar.
Bisnis telah melambat sejak saat itu, dengan nol pengiriman solar, bensin, dan bahan bakar lainnya dari Cina pada Oktober. Sementara data November akan dirilis pada Senin (25/12).
Rusia diam-diam memberi dukungan ekonomi untuk Korut di awal tahun ini. Pekan lalu Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Igor Morgulov mengatakan Moskow belum siap menandatangani sanksi yang akan mencekik negara itu secara ekonomi.
Dalam upaya untuk lebih mencekik sumber pendanaan luar Korut, resolusi terbaru PBB ini juga berusaha melarang ekspor produk makanan, mesin, peralatan listrik, tanah, dan batu Korut, termasuk magnesit dan magnesia, serta kayu dan kapal.
Resolusi juga melarang ekspor peralatan industri, mesin, kendaraan transportasi, dan logam industri Korut. Selain itu, 15 warga Korut dan Kementerian Angkatan Bersenjata telah dibekukan asetnya dan diberi larangan bepergian.
Resolusi ini memungkinkan semua negara untuk menyita kapal di pelabuhan atau perairan teritorial mereka, jika kapal tersebut terbukti membawa kargo terlarang dari Korut.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Korea Selatan (Korsel) Kim Sung-han mengatakan, belum jelas apakah sanksi ini akan mendorong Pyongyang untuk menegosiasikan atau menghentikan pengembangan senjatanya.
"Kami mengeluarkan banyak sanksi terhadap Korut selama 25 tahun terakhir. Hampir tidak ada yang bekerja secara efektif untuk menghentikan ambisi militer dan nuklir rezim tersebut," jelasnya.