REPUBLIKA.CO.ID, MANUS -- Para pengungsi di Pulau Manus mengatakan bahwa mereka kehabisan makanan karena pemilik lahan setempat memblokir akomodasi mereka.
Para pemilik tanah yang protes telah menghentikan pengiriman staf, obat-obatan dan makanan untuk tidak masuk ke Pusat Transit Lorengau Timur, di mana lebih dari 300 pengungsi bertempat tinggal, sejak 19 Desember.
Pengungsi Sri Lanka, Thanus Selvarasa, mengatakan bahwa mereka juga mencegah orang-orang di dalam untuk pergi ke luar. "Orang-orang lokal ini menyerang kami, kamp (dan) kami adalah sandera sekarang," kata Selvarasa.
"Mereka tak menyediakan makanan dan obat-obatan."
Ia mengatakan bahwa blokade tersebut mencegah pengiriman makanan yang dijadwalkan tiba. "Kami hanya punya nasi tapi hari ini sudah habis," ujarnya.
"Jika mereka tak menyediakannya, kami tak punya stok."
Para pengungsi mengatakan bahwa kontraktor mengirimkan beberapa makanan secara rahasia namun terpaksa berhenti saat para pemrotes menemukannya. Pengungsi dan jurnalis Iran, Behrouz Boochani, berada di dalam pusat tahanan tersebut dan mengatakan bahwa Angkatan Perbatasan Australia "harus menemukan solusi" terhadap situasi itu.
"Segala yang buruk terjadi pada kami, mereka yang membawa kami ke sini dengan paksa harus bertanggung jawab," unggah Bochani di Twitter.
Para pemilik lahan tersebut pertama kali memprotes di luar pusat tahanan itu pada 29 November. Ancaman mereka terhadap staf manajemen kasus memaksa kontraktor JDA Wokman mengevakuasi personilnya dari Pulau Manus.
Sekarang para pemilik tanah dilaporkan menuntut kompensasi dari Pemerintah Australia dan Papua Nugini. Meskipun protes tersebut mengenai sebuah kontrak Pemerintah Australia, Departemen Dalam Negeri Australia menolak berkomentar, hanya mengatakan: "Ini adalah urusan Pemerintah Papua Nugini."
ABC juga meminta komentar dari Otoritas Pelayanan Imigrasi dan Kewarganegaraan Papua Nugini serta Kepolisian Papua Nugini.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.