REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Badan PBB yang mengurus masalah pengungsi -UNHCR- mendesak Australia untuk menemukan solusi yang manusiawi terhadap nasib ratusan pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Pulau Manus, Papua Nugini.
Pusat penahanan di Pulau Manus secara resmi ditutup pada bulan Oktober lalu, namun banyak pencari suaka menolak untuk pergi, karena takut akan keamanan mereka di akomodasi alternatif.
Pihak berwenang Papua Nugini (PNG) akhirnya memindahkan orang-orang yang tidak bersedia meninggalkan pusat penahanan di Pulau Manus itu ke lokasi baru.
Staf di salah satu dari fasilitas ini dipaksa meninggalkan lokasi tersebut oleh penduduk setempat yang marah, yang telah memblokir pengiriman makanan.
Berbicara pada sebuah briefing UNHCR di Jenewa, Cecile Pouilly menggambarkan situasinya sebagai hal yang kritis.
"Kita berbicara di sini tentang orang-orang yang telah menderita trauma ekstrem, dan sekarang merasa sangat tidak aman di tempat tinggal mereka," katanya.
"Ada banyak korban penyiksaan, orang-orang yang mengalami trauma mendalam, dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada diri mereka.”
"Mengingat situasi berbahaya yang terus berlanjut di Pulau Manus Papua Nugini untuk para pengungsi dan pencari suaka yang ditinggalkan oleh Australia, UNHCR telah kembali mendesak Pemerintah Australia pekan ini untuk memenuhi tanggung jawabnya dan segera menemukan solusi yang manusiawi dan layak."
Cecile Pouilly mengatakan dalam empat minggu terakhir, setidaknya terjadi lima insiden keamanan. Dia menambahkan meskipun Papua Nugini sekarang harus menghadapi situasi ini, penolakan itu harus dihentikan oleh Australia.
"Apa yang hendak kita tegaskan adalah ini adalah tanggung jawab Australia sejak pertama kali masalah ini terjadi," katanya.
"Australia adalah negara yang menciptakan situasi dengan menempatkan fasilitas pemrosesan lepas pantai ini. Jadi, yang kami minta adalah Australia mencari solusi untuk orang-orang ini."
Komentarnya disampaikan setelah para pengungsi mengatakan bahwa mereka kehabisan makanan karena pemilik lahan setempat memblokir akomodasi mereka.
Protes yang dilakukan oleh para pemilik lahan ini telah menghentikan pengiriman staf, obat-obatan dan makanan untuk tidak masuk ke Pusat Transit Lorengau Timur, di mana lebih dari 300 pria ditempatkan, sejak 19 Desember.
Reuters/ABC
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.