REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARY -- Harmoni, gajah mungil berusia sekitar satu bulan itu riang bermain di sela-sela kaki induknya. Beberapa kali anak gajah itu terlihat menggoda nakal Ria, induknya yang sedang lahap mengunyah batang pisang.
Harmoni Rimbo, begitu nama lengkapnya tidak menghiraukan beberapa awak media yang "gemas" memotret tingkah lucunya, medio pekan ini. Gajah jantan mungil itu terus menerus melakukan ekspresi lucu seolah sadar sedang menjadi pusat perhatian.
Harmoni lahir dari induk gajah bernama Ria, 40 tahun. Keduanya dirawat dengan baik di salah satu pusat pelatihan gajah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau. Harmoni dan Ria merupakan bagian dari populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang diperkirakan mencapai 100 hingga 110 ekor. Gajah-gajah itu menempati kawasan TNTN seluas lebih dari 83.000 hektare.
Namun keberadaan gajah-gajah tersebut terus terancam dengan masifnya aksi perambahan hutan di kawasan taman nasional selama beberapa tahun terakhir. Hingga akhir 2017 ini, tercatat hanya 19.000-20.000 hektare kawasan hutan yang tersisa di TNTN. Sementara selebihnya telah disulap menjadi permukiman ribuan warga, perkebunan sawit dan lahan kosong yang hanya menyisakan semak belukar. Lahan kosong itu sewaktu-waktu dengan cepat menjadi perkebunan baru.
"Kawasan hutannya saat ini berkisar 19.000 hingga 20.000 hektare. Tugas besar kami adalah menyelamatkan hutan tersisa," kata Kepala Seksi Pengelolaan Wilayah I Balai TNTN, Taufiq Haryadi saat ditemui Antara di Pelalawan, medio pekan ini.
Padahal, Harmoni, Ria dan ratusan gajah lainnya membutuhkan tempat untuk hidup dan berkembang. Sementara "serbuan" manusia rakus serta lemahnya peran negara membuat keberadaan satwa dilindungi itu semakin terancam. Tidak hanya Harmoni, aneka ragam satwa lainnya seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 114 jenis burung, 50 jenis ikan, primata hingga 360 jenis flora turut terancam dengan semakin tergerusnya kawasan hutan TNTN.
Tesso Nilo menjadi kawasan hutan lindung melalui dua kali penetapan perubahan fungsi Hutan Produksi Terbatas seluas 83.000 hektare lebih oleh Kementerian Kehutanan. Penetapan pertama berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada 2004 seluas 38.576 hektare. Tahap berikutnya pada 2009 seluas 44.492 hektare. Sebagian besar kawasan TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan sebagian kecil di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Meski telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung, Tesso Nilo seolah terabaikan. Kawasan hutan itu menjadi ajang "bancakan" bagi mafia lahan dan para perambah. Sedikit demi sedikit kawasan hutan disulap menjadi perkebunan sawit dan pemukiman.
Bahkan, fasilitas umum seperti sekolah, pasar, tempat ibadah hingga sarana transportasi bus ada dan beroperasi di kawasan yang seharusnya "haram" untuk ditinggali itu. Belum diketahui secara pasti populasi manusia yang bermukim di dalam kawasan TNTN. Namun diperkirakan lebih dari 6.000 jiwa.
Salah satu wilayah kawasan TNTN yang cukup marak dijarah berbatasan langsung dengan Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui Pelalawan. Desa itu berjarak sekitar 120 kilometer dari Kota Pekanbaru. Terdapat dua dusun di kawasan TNTN yang secara administratif bagian dari Desa Lubuk Kembang Bunga. Kedua dusun itu adalah Toro dan Kuala Onangan.
Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga, Rozi mengatakan sedikitnya terdapat 3.500 kepala keluarga di dua dusun itu, atau setara dengan 6.000 jiwa. Jumlah penduduk di dua dusun itu jauh lebih banyak dibanding penduduk di desa induk Lubuk Kembang Bungo.
Rozi mengklaim, para pendatang yang kini menjadi warganya itu telah berada di Tesso Nilo sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional. Dia juga mengakui fasilitas umum seperti pasar, sekolah, tempat ibadah telah berdiri di dua dusun. "Di dusun Toro itu sudah ada warga yang tinggal sejak tahun 2000. Memang saat itu jumlahnya tidak sebanyak sekarang," kata Rozi.
Pria berperawakan kurus itu menolak warganya dipesalahkan dan disebut sebagai perambah karena tinggal dan membuka perkebunan sawit di dalam kawasan TNTN. Dia memilih untuk mengatakan bahwa warganya adalah korban kebijakan pemerintah. "Masyarakat itu tidak tau apa-apa, mereka korban. Mereka datang, tidak tahu hutan lindung, menanam sampai jadi sawit," jelasnya.
Rozi memperkirakan saat ini sekitar 35.000 hektare kawasan TNTN telah disulap menjadi perkebunan sawit oleh masyarakat dusun Toro dan Kuala Onangan. Jika benar yang disampaikan Rozi, maka hitungan matematika dasar setiap kepala keluarga menguasai 10 hektare lahan sawit. Angka itu diperoleh dengan pembagian antara 35.000 hektare perkebunan sawit dibagi dengan 3.500 kepala keluarga. Itu artinya, satu keluarga tidak hanya dapat bertahan hidup, mereka bahkan dapat dengan luas sawit 10 hektare.
Namun, Rozi menampik anggapan tersebut. Dia mengatakan mayoritas warganya hanya memiliki sekitar dua hingga empat hektare. Sementara sisanya dimiliki oleh cukong-cukong yang tinggal di luar dusun. Lain Rozi, lain pula Hamencol. Hamencol merupakan tokoh Bathin dan penduduk asli Desa Lubuk Kembang Bungo. Pria separuh abad itu mengaku masih sempat melihat kayu-kayu berdiameter 20 meter tumbuh, tegak, gagah di TNTN saat usianya masih muda. Kini sebagian besar pohon-pohon raksasa raib, berganti wujud.
Hamencol terang-terangan menolak keberadaan pendatang yang menghancurkan Tesso Nilo. Dia merasa "memiliki" dan bertanggung jawab menjaga kawasan hutan lindung itu. Hingga kini, Hamencol masih terus aktif menjaga hutan TNTN yang tersisa.
Saat ditemui Antara belum lama ini, Hamencol mengaku baru saja menemukan aksi perambahan hutan dengan menyita dua mesin chainsaw serta membakar motor para pelaku. Besar harapan Hamencol agar polemik keberadaan warga yang tinggal dan kini menetap di kawasan TNTN dapat diselesaikan oleh pemerintah.
Kepala Balai TNTN, Supartono membenarkan adanya warga yang bermukim di kawasan TNTN. Dia mengemukakan hingga kini pihaknya masih terus mendata angka pasti warga tersebut. Supartono enggan membenarkan atau menyalahkan angka yang disampaikan Rozi.
Namun yang pasti, dia mengatakan sedang menghadapi tugas besar untuk menyelamatkan kawasan hutan yang tersisa. Dia menuturkan dalam upaya penyelamatan TNTN, Menteri LHK Siti Nurbaya juga telah membentuk tim revitalisasi.
Sementara pendataan dilakukan, dia menuturkan pihaknya terus menyiapkan strategi penyelesaian penataan kawasan TNTN 2018 mendatang. "Ada dua strategi pada 2018. Pertama menyelamatkan hutan-hutan tersisa, termasuk kemitraan, Ekowisata, pengamanan dan pemberdayaan. Kemudian bersama tim revitalisasi menyelesaikan perambahan hutan," ujar Supartono menguraikan.
Langkah konkret pemerintah tentu sangat ditunggu untuk menjaga gajah Harmoni dan kolega satwa lainnya yang kini mendiami TNTN dapat hidup dengan baik. Begitu juga polemik warga yang kini mendiami kawasan TNTN dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Tugas besar pemerintah menunggu menghadapi 2018.