REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program pemerintah menerbitkan sertifikat tanah telah berjalan di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya di DKI Jakarta bagian utara. Badan Pertanahan Negara (BPN) administrasi Jakarta Utara telah menerbitkan 5.000 sertifikat tanah ke beberapa kecamatan di Jakarta Utara. Staff BPN Jakarta Utara Nanto, mengatakan, di lima kecamatan wilayah dibagikan sertifikat tanah secara menyeluruh.
"Ada di Kapal Muara, Papanggok, Muara Baru dan Marunda sudah dibagikan merata," ujar Nanto di Kantor BPN Jakarta Utara, belum lama ini (22/11).
Notaris PPAT, Bambang Heryanto mendukung program yang diterbitkan Presiden Joko Widodo. Bahkan bila perlu, dia mengatakan, seluruh DKI Jakarta bebas warga yang tak punya sertifikat tanah.
Dewasa ini, masalah mengenai kasus tanah bersumber kepada kepemilikan. Status kepemilikan yang masih belum jelas, kepemilikan yang tumpang tindih membuat masyarakat perlu memiliki sertifikat tanah. Dengan adanya program pemerintah itu, secara massal Bambang mengharapkan dapat mengurangi persengketaan mengenai pertanahan terutama kepemilikan tanah.
"Karena batas-batasnya dalam Undang-Undang, pemerintah sudah menggariskan kewajiban-kewajiban BPN dalam program-program agraria. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam menerbitkan sertifikat. Itu bagus," ujarnya saat ditemui di kantor Notaris di Jakarta Utara.
Notaris adalah kepanjangan tangan dari masyarakat untuk mengurusi surat kepemilikan atas tanah. Banyak masyarakat yang masih belum mengenal apa itu sertifikat tanah. Notaris, sebagai badan hukum yang sah membantu masyarakat dalam menangani sengketa tanah, balik nama tanah, dan lain sebagainya yang berhubungan erat dengan pertanahan.
Meskipun begitu, birokrasi yang ada pada BPN tidak selalu mengindahkan masyarakat. Menurut Bambang yang sudah puluhan tahun bergelut di bidang kenotarisan, masyarakat sudah cukup sadar pentingnya sertifikat tanah sejak diterbitkannya Undang-Undang Agraria tentang kepemilikan tanah. Dia menyebut sudah banyak masyarakat yang mengurusi sendiri akan kepentingan sertifikat tanah.
"Prosudernya dan syarat-syarat tentang sertifikat tanah sudah jelas dalam Undang-Undang, namun sayangnya dalam penerapan prosedur itu di BPN yang tidak jelas. Surat ukur, cara pengajuan surat ukur semua sudah jelas, namun pelaksanaan di BPN masih dipersulit," ujarnya.
Masyarakat dan notaris merasa pihak pemerintah di BPN mempersulit masyarakat dalam mengurusi surat kepemilikan atas tanah. Lambat laun masyarakat pun menurut notaris Bambang akan bosan, dan mulailah masuk para calo pertanahan, serta karut marut yang bergerak, disebabkan oleh BPN yang tidak jalan. "Jadi bagaimana menciptakan satu sistem agar begitu masyarakat memasukan permohonan, dan sudah lengkap, masyarakat tidak perlu tahu tahap satu, dua dan tiga," ujarnya.
Masyarakat yang memakai jasa hukum kepada notaris untuk pengurusan bidang-bidang tanah banyak juga yang mengalami hambatan. Tjetjep Supriyatna mengeluhkan, lamanya proses mengurus sertifikat tanah di BPN. Mestinya menurut Tjejtjep permohonan hak dimulai dari tingkat kelurahan.
"Sertifikat tanah itu penting. Masyarakat harus mengurus sendiri, tapi sulit dari pihak BPN-nya. Sistem yang BPN punya tidak sama dengan keinginan masyarakat, jadi sulit," ujar pria berusia 40 tahun itu.
Sedangkan menurut Bambang, jika dilihat dari sisi notaris, dia mengatakan dari segi waktu kerja ada yang tidak jelas untuk notaris. Kemudian banyaknya aturan-aturan yang berbenturan seperti balik nama sertifikat. "Itu saja membutuhkan waktu yang lama. Harus bayar PPH dan PPHTB di bank, di bank sehari, dan yang membuat lama adalah proses validasi di kantor pajak itu sendiri bisa memakan waktu sampai dua minggu," kata Bambang.
Baik Bambang maupun Tjejtep mengayakan, masyarakat biasa, merasa BPN sangat kurang dalam pelayanan pengurusan pertanahan. Seakan-akan menurut mereka berdua, masyarakat telah bangun dan pemerintah yang masih tidur. "Seharusnya hal itu sebaliknya," katanya.
Meskipun begitu terkait sengketa lahan, setelah diterbitkannya kesadaran akan pentingnya sertifikat tanah dan adanya program pemerintah menerbitkan 126 juta sertifikat tanah, konflik sengketa lahan lambat laun menurun. Dengan sumber daya manusia yang tinggi pada sistem pertanahan itu, otomatis konflik-konflik di lapangan menurun. Kesempatan untuk peluang adanya konflik sudah di tanggulangi dan dihapus dengan lahirnya hak sertifikat tanah.