Senin 25 Dec 2017 07:30 WIB
Evaluasi 2017

Nyali ASEAN Perjuangkan HAM Rohingya Dipertanyakan

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
M, 35, ibu seorang anak, pengungsi Rohingya korban perkosaan militer Myanmar. Kini ia berada di kamp pengungsian Gundum di Bangladesh
Foto: Wong May E/AP Photo
M, 35, ibu seorang anak, pengungsi Rohingya korban perkosaan militer Myanmar. Kini ia berada di kamp pengungsian Gundum di Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk orang hilang dan korban kekerasan (Kontras) menyebut ASEAN tidak punya nyali membawa isu-isu kemanusiaan di ASEAN. Hal itu termasuk krisis genosida dan kejahatan kemanusiaan yang diduga dilakukan Pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya.

Pelaksana Desk Intenasional Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan ASEAN sama sekali tidak akomodatif. Bahkan pertemuan dengan negara-negara ASEAN beberapa waktu lalu tidak menyentuh sedikit pun isu-isu kemanusiaan.

ASEAN, menurut Fatia, hanya melakukan ajang selebrasi semata perihal kerja sama ekonomi, politik dan keamanan. Kontras curiga, ada titipan pesan sebelumnya dari pemerintah Myanmar agar ASEAN tidak sedikit pun menyinggung soal Rohingya.

"ASEAN itu tidak pernah memiliki nyali untuk membuat satu kebijakan bersama mengatasi isu-isu kemanusiaan, termasuk Rohingya. Bahkan Suu Kyi menjadikan momentum ASEAN ini sebagai tameng pelindung dia karena dia tahu ASEAN tidak akan berbicara apa-apa," ujar Fatia kepada Republika.co.id, Sabtu (23/12).

ASEAN membisu lantaran terkendala oleh prinsip non-intervensi yang tertera dalam Piagam ASEAN 1967. Namun, krisis Rohingya ini menurutnya tidak hanya milik Myanmar, namun sudah menjadi potret buruk situasi HAM di ASEAN yang telah menjadi perhatian dunia internasional.

Oleh karena itu, menurutnya meskipun ada prinsip non-intervensi tapi HAM secara umum bersifat universal. Sehingga saat terjadi kejahatan kemanusiaan di suatu negara seperti di Rohingya maka negara-negara lain dapat masuk mengintervensi, memberikan rekomendasi dan memberikan bantuan.

"Karena yang namanya nilai kemanusiaan itu berlaku di mana saja, tapi ASEAN itu tidak mau mengakui itu dan prinsip non-intervensi harus tetap diberlakukan,” katanya.

Bahkan Fatia mengatakan tidak ada peran ASEAN sama sekali dalam kasus Rohingya ini. Jika konflik ini terus bereskalasi, Fatia mengaku khawatir konflik membesar dan justru menciptakan perang seperti Israel dan Plaestina.

"Yang ditakutkan adalah jika seperti ini, dia (Myanmar) mendapatkan back up dari ASEAN di forum internal lebih besar seperti PBB takutnya konflik Rohingya bisa sama lamanya seperti Israel dan Palestina," ungkap dia.

Menyesakkan, 600 ribu etnis Rohingya telah kehilangan tempat tinggalnya sejak Agustus 2017. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyebut tindakan pemerintah Myanmar kepada minoritas etnis Rohingya ini sebagai kejahatan kemanusiaan.

"Prinsip-prinsip HAM tidak diindahkan pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan permasalahan di Rohingya, ini terbukti dengan penyerangan dan penembakan terhadap warga sipil yang jelas-jelas merupakan tindakan biadab dan tidak manusiawi," ujar nya.

Myanmar membantah jika terjadi tindak kekerasan atau penembakan yang dilakukan tentara militer mereka kepada etnis Rohingya. Namun Myanmar juga selalu menolak untuk dilakukan investigasi guna mencari tahu fakta sebenarnya.

Fatia menambahkan, Indonesia harus berusaha lebih keras untuk bisa menjalin kerja sama dengan negara-negara ASEAN dalam permasalahan Rohingya. Hal ini guna mencegah terjadinya genosida berkelanjutan, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan juga penghapusan etnis Rohingya di Myanmar.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut Kontras merekomendasikan ASEAN dan khususnya pemerintah Indonesia dalam penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rakhine Utara, di antaranya, pertama, meminta ASEAN  membuat suatu pertemuan istimewa membahas secara spesifik penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya, termasuk mengenai pertolongan humaniter, akses keadilan dan kekuatan alternatif meredam konflik yang terjadi di daerah tersebut selain kekuatan militer yang represif.

Kedua, pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif menyusun beberapa rekomendasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi kepada etnis Rohingya, termasuk penanganan kelompok minoritas Rohingya yang menjadi internally-displaced persons (pengungsi internal) dan terbengkalai di beberapa pos transit pengungsi di beberapa negara anggota ASEAN dan Australia.

Ketiga, pemerintah Indonesia harus segera meminta Myanmar menarik pasukan keamanan di Rakhine yang pada akhirnya menimbulkan ancaman dan rasa takut lebih lanjut terhadap etnis tersebut. Hal ini untuk meminimalisir potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rohingya.

Jika Indonesia, lanjutnya, tetap tidak bisa masuk dan menjaring negara-nengara anggota ASEAN untuk membuat resolusi tentang Rohingya, maka Indonesia akan masuk melalui PBB karena PBB sendiri telah memandang konflik Rohingya ini sudah sangat serius dan harus segera di selesaikan.

"Di PBB ada prinsip responsibility to protect (tanggung jawab melindungi). Itu ada di piagam PBB dan itu bisa jadi pedoman untuk dibawa oleh pemerintah Indonesia untuk merekomendasikan PBB membuat satu resolusi dan peringatan terhadap Myanmar jika konflik ini terus berlanjut. Jadi Myanmar punya kewajiban memenuhi prinsip tanggung jawab tadi," kata Fatia.

Misalnya, tambah Fatia, merekomendasikan PBB membuat satu resolusi yang tidak hanya menyelesaikan masalah kemanusiaan tapi juga akses terhadap keadilan bagi masyarakat Rohingya. “Misalnya kita rekomendasikan di pengadilan internasional, jadi kita harus melihat elemen-elemen keadilan apa yang sudah dilanggar oleh pemerintahan Myanmar,” ujar Fatia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement