Senin 25 Dec 2017 17:07 WIB

Konstelasi Politik 2017, Antara Pilkada DKI Hingga Kisruh Setya Novanto

Red: Bilal Ramadhan
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.
Foto: dok. Pribadi
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago menilai konstelasi politik selama tahun 2017 ada beberapa isu yang ramai dibicarakan publik. Isu yang pertama tentu saja soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 yang bergulir pada Februari-April 2017.

“Pilkada DKI salah satu yang cukup menyita perhatian publik di tahun 2017. Pilkada DKI juga tidak hanya menyita perhatian warga Jakarta, tapi juga Indonesia dan bahkan dunia. Melihat Indonesia ya melalui Pilkada DKI,” kata Pangi.

Pangi memaparkan Pilkada DKI memang dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan, akan tetapi hal itu tidak terjadi. Menurutnya masyarakat Jakarta sudah cerdas dan mampu legowo untuk menerima kemenangan maupun kekalahan calon kepala daerah yang diusungnya dalam pilkada.

Meskipun polaritas pendukung antara kedua pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat masih juga terasa hingga saat ini. Baik pendukung Anies maupun Ahok masih terlihat kerap berseteru di media sosial.

Pilkada DKI 2017 ini, lanjutnya, bisa menjadi pembelajaran dalam dunia politik di Indonesia. Bagaimana isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) bisa memecah belah masyarakat. Isu SARA dalam pilkada, ia menilai bisa menjadi alat pemicu konflik horizontal di akar rumput.

Seandainya Ahok tidak memicu isu SARA dengan tidak menyebut dan membawa-bawa surat Al Maidah ayat 56, mungkin saja Pilkada DKI akan berjalan tenang tanpa ada gesekan di masyarakat. Dan kalau saja Ahok tidak membawa-bawa surat Al Maidah ayat 56, kemungkinan besar Ahok akan memenangi Pilkada DKI.

“Jika Ahok tidak memicu dengan menyebut Al Maidah, Ahok tidur trus tanpa kampanye pun, bisa menang. Karena saat itu elektabilitas Ahok sangat tinggi dan kemungkinan memenangkan Pilkada DKI sangat terbuka. Tapi karena ‘kotak pandora’ telah dibuka Ahok dengan alat pemicu surat Al Maidah, Ahok kalah di Pilkada dan sekarang dipenjara,” ujarnya.

Ia meminta agar isu SARA ini tidak dijadikan komoditas politik lagi untuk di Pilkada Serentak 2018 mendatang. Apalagi di Pilkada Serentak 2018 akan ada sejumlah provinsi yang akan memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Tentunya akan melibatkan jumlah pemilih yang besar layaknya di Pilkada DKI 2017 lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement