REPUBLIKA.CO.ID, Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) memprediksi proyek-proyek pemerintah akan jadi fokus pembiayaan perbankan syariah pada 2018. Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pembiayaan perbankan syariah pada 2018 akan tumbuh 10-12 persen.
Sekjen Asbisindo Achmad K Permana mengatakan, proyek pemerintan akan jadi destinasi pembiayaan perbankan syariah pada 2018 karena proyek-proyek ini dijamin APBN. ''Meski perbankan syariah juga menyadari tentu marjin proyek pemerintah tidak akan seagresif kalau komersial,'' kata Permana saat ditemui usai gelaran Anugerah Syariah Republika 2017 beberapa waktu lalu.
Salah satu sumber pembiayaan syariah untuk membiayai proyek-proyek ini adalah surat utang syariah (sukuk). Karenanya banyak pihak memperkirakan penerbitan sukuk pada 2018 akan semakin marak.
Data Statistik Sukuk yang dikeluarkan OJK menyebutkan per Oktober 2017 jumlah outstanding sukuk sebanyak 69 dengan nilai outstanding Rp 14,39 triliun. Akumulasi jumlah penerbitan sukuk sebanyak 124 dengan nilai akumulasi penerbitan mencapai Rp 24,74 triliun pada periode tersebut. Khusus pada 2017 sampai Oktober, terdapat 16 sukuk yang diterbitkan oleh enam korporasi dengan total nilai Rp 2,03 triliun.
Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim, mengatakan pada 2018 pembangunan infrastruktur akan semakin marak. Peningkatan tersebut akan mempengaruhi dua hal yang diperkirakan naik. Pertama, perusahaan-perusahaan BUMN yang terlibat dalam proyek infrastruktur diduga akan menggalang dana melalui instrumen sukuk sehingga volume sukuk korporasi BUMN akan semakin banyak dari sisi jumlah dan nilai.
Kedua, instrumen sukuk juga akan bertambah marak. Dia menyebut ada dua instrumen baru. Masing-masing Efek Beragunan Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP) yang akan digunakan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) untuk sekuritisasi aset di Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
Instrumen kedua, yakni Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragunan Aset (KIK-EBA) yang akan digunakan untuk sekuritisasi aset-aset dari sisi proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan tol, bandara dan pelabuhan.
"Tahun 2018 kami perkirakan sukuk korporasi akan lebih semarak dari segi proyek-proyek infrastruktur dan instrumennya," jelas Adiwarman kepada Republika.co.id, Kamis (21/12).
Adiwarman belum memperkirakan nilai kenaikan sukuk korporasi. Dari setiap dana yang dibutuhkan terpecah konvensional dan syariah.
Beberapa waktu lalu, terdapat sindikasi untuk pembiayaan kepada PLN dengan total nilai Rp 16,3 triliun, dengan skema pembagian 60 persen konvensional dan 40 persen syariah. "Kami belum tahu yang lainnya," ujarnya.
Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, Rifki Ismail, mengatakan sukuk korporasi bisa diterbitkan oleh perusahaan konvensional, perusahaan syariah, perusahaan BUMN, maupun pemerintah daerah.
"Cuma yang sekarang lagi kami arahkan, korporasi yang menerbitkan sukuk untuk pembiayaan infratruktur. Kedua, kalau bisa lembaga-lembaga Islam mulai memikirkan sukuk korporasi seperti Muhammadiyah yang mau menerbitkan sukuk," kata Rifki sata ditemui di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (22/12).
Alternatif pembiayaan
Rifki menambahkan, beberapa waktu lalu Bank Indonesia membuat pertemuan dengan sejumlah organisasi Islam untuk mewacanakan sukuk sebagai salah satu alternatif pembiayaan bagi yang memiliki proyek-proyek pembangunan infrastruktur atau sarana sosial.
Pemerintah memiliki Nawacita pembiayaan infrastruktur, yang terdiri dari infrastruktur komersial seperti pelabuhan, jalan tol, dan bandara, serta infrastruktur sosial seperti sekolah, rumah yatim, dan panti asuhan untuk layanan masyarakat. Keduanya bisa dilakukan melalui penerbitan sukuk.
Dalam kesempatan terpisah Peneliti Ekonomi Syariah dari SEBI School, Aziz Setiawan, mengatakan secara umum melihat faktor yang mendorong faktor penerbitan sukuk dari ekspansi masing-masing perusahaan dan kondisi perekonomian 2018. Sejumlah ekonom memprediksi ekonomi 2018 lebih baik daripada 2017.
Faktor penting yang akan mendorong perusahaan melakukan ekspansi, lanjutnya, adanya kenaikan permintaan sehingga perusahaan harus menambah suplai kapasitas produksi dan menambah pendanaan. "Tahun depan sumber pendanaan akan naik termasuk dari penerbitan obligasi dan sukuk. Terlebih 2018 banyak Pilkada. Pilkada selalu positif dalam mendorong perekonomian karena perusahaan akan menambah kapasitas produksi," ujar Aziz.
Menurutnya, beberapa BUMN yang punya ruang besar untuk membangun infrastruktur akan mendorong peningkatan sukuk korporasi tahun depan. Namun, saat ini lebih banyak penerbitan obligasi dibandingkan sukuk.
"Sukuk lebih rumit. Dari data sekarang untuk penerbitan obligasi hampir Rp 108 triliun dan sukuk hanya Rp 4 triliun. Tahun depan bisa naik 50 persen saja sudah sangat bagus," kata Aziz.
Menurutnya, hal itu disebabkan kurangnya pemahaman sukuk dan proses penerbitan lebih rumit. Padahal, permintaan investor cukup tinggi untuk sukuk korporasi.
Sementara syarat underlying dianggap membuat proses penerbitan sukuk lebih rumit. Karenanya, kata Aziz, dibutuhkan evaluasi menyeluruh untuk sukuk korporasi dari pemerintah.
Selain itu, sambung dia, OJK juga dianggap perlu mereview ulang aturan. Sebab, setiap tahun ada penerbitan sukuk korporasi tetapi kenaikan tidak signifikan.
Sedangkan penerbitan surat berharga syariah negara (SBSN) pertumbuhannya tergolong tinggi meskipun hanya jenis ijaroh, sementara jenis mudharabah berkurang. "Jenis-jenis lain justru kurang berkembang," ujar Aziz.