Selasa 26 Dec 2017 11:10 WIB

Penurunan Harga Karet Bikin Petani Menjerit

Petani peserta program Hutan Kemasyarakatan melintasi pohon karet yang ditanam Lahan Gunung Langkaras, Tebing Siring, Kabupaten Tanah Laut.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Petani peserta program Hutan Kemasyarakatan melintasi pohon karet yang ditanam Lahan Gunung Langkaras, Tebing Siring, Kabupaten Tanah Laut.

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Target produksi karet Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1,3 juta ton pada 2018 dipastikan meleset pada tahun ini. Sebab, per Desember hanya tercapai sekitar 1,1 juta ton.

Penyebabnya karena penurunan harga di tingkat petani yakni dari harga ideal Rp 13 ribu/kg menjadi Rp 7.000/kg sebagai dampak dari banjirnya pasokan di pasaran internasional. Akibatnya, banyak kebun karet yang didiamkan begitu saja oleh petani. Namun, ada juga petani yang tetap menggarapnya karena tidak memiliki pilihan lain.

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan pada 2016, kondisi ini sejatinya jauh lebih parah karena produksi karet hanya 900 ribu ton.

"Semula kami berharap banyak di tahun ini, karena di awal tahun ada perbaikan harga, tapi ternyata harga tetap belum terangkat karena memang di pasaran internasional sedang kelebihan suplai sekitar tiga juta ton," kata dia.

Saat ini harga karet di perdagangan internasional hanya sekitar 1,4 dolar AS per kilogram, atau masih jauh dari harapan menyentuh dua dolar per kg. Lebih buruk lagi, harga karet di tingkat petani dalam tiga tahun ini 'terjun bebas' di kisaran Rp 6.000-Rp 8.000 per kg. Data hasil lelang terbaru di UPPB Desa Sukamaju per 4 Desember 2018 hanya seharga Rp 8.900/kg.

Menurut Eddy K Eddy, pemerintah harus terus berjuang membuat kesepakatan dengan negara-negara pengekspor karet untuk mengurangi pasokan di pasar internasional. Indonesia dapat menjadi pemimpin bagi Malaysia dan Thailand untuk memprakarsai langkah ini. Tiga negara produsen karet yan tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand, telah sepakat untuk mengurangi suplai ke pasar ekspor dalam Kesepakatan Skema Tonase Ekspor (AETS).

Negara baru ini sulit diajak kompromi karena memilik rasio produksi karet lebih baik dua lipat dibandingkan Indonesia. Jika petani Indonesia menghasilkan satu ton karet dalam 1satuhektare maka petani Vietnam dan Thailand dalam memproduksi dua ton.

Selain itu, serapan dari dalam negeri harus ditingkatkan karena sejauh ini baru digunakan untuk bahan membuat aspal.

Seorang petani karet Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, Anwar mengatakan saat ini petani karet hanya mendapatkan pemasukan sekitar Rp 700 ribu dari lahan seluas satu hektare. Tak ayal kondisi ini membuat petani karet mendiamkan lahannya dan beralih bekerja serabutan seperti menjadi buruh.

"Banyak yang kerja di perkebunan sawit atau pergi ke kota jadi buruh," kata dia.

Petani karet Desa Tambangan Kelekar, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, Sumsel, Kirom mengatakan bahwa dirinya lebih suka bekerja secara serabutan sejak harga karet jatuh di tingkat petani.

Ia mengatakan bahwa penurunan harga karet demikian terasa sejak dua tahun lalu dan tidak kunjung membaik hingga kini. Keadaan ini juga dibarengi dengan meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok sehingga makin memberatkan kehidupan sehari-hari.

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement