REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan politik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dapat mematikan nalar kompetisi pemilihan umum (pemilu). Kini, isu SARA lebih kepada pengasosiasian seseorang terhadap sesuatu, bukan karena suatu hal tertentu dari orang tersebut.
"Bisa (seseorang) Islam secara faktual, tapi karena diasosiakan bukan Islam, dia tidak menjadi Islam," ujar Ray usai diskusi di Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).
Menurutnya, hal itulah yang membuat politik SARA merepotkan. Politik SARA, kata Ray, kadang tidak berhubungan dengan fakta yang ada, tapi sejauh mana asosiasi itu dibuat. "Cuma beda aliran agama saja bisa dibuat sebagai orang yang tidak beragama. Itu bahayanya," katanya.
Di luar itu, Ray mengatakan, politik SARA juga dapat mematikan nalar kompetisi pemilu. Ia menjelaskan, pemilu dilakukan supaya masing-masing pihak yang bersaing berdebat soal visi-misinya. Tapi, yang kerap terjadi orang-orang justru berdebat soal kesalehan masing-masing kontestan pemilu.
"Ini yang harus, menurut saya, diantisipasi. Tentu tanggung jawab terbesarnya ada pada partai politik (parpol)," ucapnya.
Ia menerangkan, parpol terlihat seakan tidak bermain dalam politik SARA. Namun, pada dasarnya parpol justru menikmati permainan itu. Karena itu, peran penting parpol sekarang ini adalah bagaimana mereka harus betul-betul mengampanyekan jangan sampai ada politik SARA.
"Jadi mereka betul-betul harus mengampanyekan, SARA ini tidak menguntungkan bagi siapa pun," tegasnya.