REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Selama bertahun-tahun, Jepang selalu menemukan kapal nelayan Korea Utara (Korut) terdampar di pantainya. Kapal itu sering dijuluki 'kapal hantu' karena biasanya ditemukan dalam keadaan kosong atau dengan mayat nelayan di dalamnya.
Tahun ini tampaknya jumlah 'kapal hantu' Korut yang terdampar di Jepang telah memecahkan rekor baru. Hingga 18 Desember, penjaga pantai Jepang menghitung setidaknya 95 kapal Korut telah ditemukan terdampar, bersama dengan 27 mayat nelayan.
Ketegangan politik dan kurangnya transparansi dari pemerintah Korut membuat Jepang sulit untuk mengetahui mengapa begitu banyak bangkai kapal yang tiba. Seorang penjaga pantai Jepang meragukan faktor cuaca akan insiden ini.
"Secara umum, samudra musim dingin di Laut Jepang [yang juga dikenal sebagai Laut Timur] sangat kasar, dan musim dingin yang lebih berat mungkin telah membawa lebih banyak bangkai kapal ke sini," kata penjaga yang berbicara secara anonim itu.
Pada 13 Desember lalu, penjaga pantai menemukan dua bangkai kapal berukuran sekitar 15 sampai 20 kaki. Keduanya terendam air dan sedikit terkubur pasir di pantai dekat Kota Akita.
Saat memeriksa bangkai kapal, penjaga pantai menemukan empat mayat yang telah membusuk. Kemudian pada Senin (18/12), dua mayat kembali ditemukan di bawah salah satu kapal saat petugas berusaha menarik bangkai kapal itu dari pantai
CNN berusaha mengunjungi pantai itu di hari yang sama. Namun tempat tersebut sangat kosong, hanya ada satu sosok pria bermantel panjang yang terdiam di bibir pantai.
Pria itu adalah Tadasu Takamine, asisten profesor di Akita University of Art. Ia datang untuk memberikan penghormatan kepada mayat-mayat warga Korut yang tak dikenal, yang telah ditemukan di dalam kapal-kapal hantu itu.
"Saya sangat sedih. Tidak ada orang di sini dan tidak ada bunga di sekitar kapal," ujar Takamine. Ia kemudian berpesan kepada nelayan Korut agar berhati-hati di tengah laut, sehingga kapalnya tidak terbawa arus dan terdampar jauh.
Korut memiliki jarak lebih dari 1.000 kilometer dari Jepang. Namun, kapal-kapal Korut yang terdampar di pantai Jepang kebanyakan tidak dilengkapi dengan fasilitas khusus untuk bisa melewati lautan terbuka dengan jarak yang sangat jauh.
Biasanya masih ada umpan dan jaring memancing di dalam kapal, juga jaket pelampung, transceiver radio, dan sepatu yang terletak di dek. Setelah terdampar, kapal-kapal itu segera diberikan tanda peringatan oleh pihak berwenang Jepang agar masyarakat tidak mendekatinya.
"Hanya orang gila yang akan memancing dengan cara ini. Saya kira pemerintah telah memaksa mereka untuk pergi ke laut," kata Akira Funatsu, seorang nelayan Jepang veteran berusia 76 tahun.
Beberapa ahli berpendapat, lonjakan jumlah 'kapal hantu' yang karam di Jepang berkaitan dengan tekanan dari pemerintah Korut. Nelayan dimungkinkan untuk menempuh jarak yang berbahaya untuk menangkap ikan.
"Ikan adalah sumber penting bagi warga Korut, karena ikan adalah sumber protein termurah dan mereka dapat menjualnya ke Cina dengan uang tunai," kata Ma Chang-mu, seorang peneliti senior di Korea Maritime Institute di Korea Selatan (Korsel).
Menurut Korea Institute for International Economic Policy, ekspor makanan laut Korut ke Cina melonjak 88 persen di paruh pertama 2017, dibandingkan dengan enam bulan yang sama pada 2016. "Sejak Kim Jong-un berkuasa, telah terjadi peningkatan penangkapan ikan di Korut," kata Yoon In-ju, peneliti lain di Korea Maritime Institute.
Periset Ma and Yoon mengatakan Pyongyang memberikan hak penangkapan ikan kepada perusahaan Cina bertahun-tahun yang lalu, yang menyebabkan stok ikan habis di perairan terdekat. Dengan demikian nelayan mereka tidak bisa lagi memancing di wilayah itu dan merambah wilayah lain.