Selasa 26 Dec 2017 17:37 WIB

Bertentangan dengan Gereja, Keputusan Guatemala Memalukan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Budi Raharjo
Bulan purnama tampak di langit kota suci Yerusalem, Ahad (23/6).    (AP/Jim Hollander)
Bulan purnama tampak di langit kota suci Yerusalem, Ahad (23/6). (AP/Jim Hollander)

REPUBLIKA.CO.ID,RAMALLAH -- Kementerian Luar Negeri Palestina mengecam keputusan Guatemala untuk mengikuti jejak Presiden AS Donald Trump yang akan memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kementerian menyatakan keputusan Guatemala itu memalukan dan ilegal, serta bertentangan dengan keinginan para pemimpin gereja di kota suci tersebut.

"Ini tindakan memalukan dan ilegal yang bertentangan dengan keinginan pemimpin gereja di Yerusalem dan resolusi Majelis Umum PBB yang tidak mengikat, yang mengutuk pengakuan AS," ujar Kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.

Pengumuman Guatemala untuk memindahkan kedutaannya disampaikan pada Ahad (24/12), beberapa minggu setelah keputusan kontroversial Trump tentang status Yerusalem. Bahkan tiga hari sebelumnya dua pertiga negara anggota PBB telah menolak keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Setelah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Guatemala Jimmy Morales memberikan pengumuman kepada rakyatnya di halaman Facebook pribadinya. "Salah satu topik yang paling penting adalah kembalinya Kedubes Guatemala ke Yerusalem dari Tel Aviv tempat ia berada," tulis Morales, dikutip Alaraby.

"Untuk itulah saya memberi tahu Anda, saya telah memberikan instruksi kepada kementerian luar negeri agar mereka memulai koordinasi yang diperlukan untuk mewujudkannya," tambah Morales.

Pada Senin (25/12), Netanyahu memuji keputusan tersebut dan mengatakan negara-negara lain akan segera mengikuti jejak Washington. "Negara lain akan mengakui Yerusalem dan mengumumkan relokasi kedutaan mereka. Negara kedua telah melakukan hal itu dan saya mengulanginya: akan ada yang lain, ini baru permulaan dan ini penting," kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan

Sebanyak 128 negara telah menyatakan mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB yang menolak pengakuan Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mereka tetap mendukung, meski AS mengancam akan menarik bantuan dan mencatat nama-nama negara yang menentang Washington.

Hanya delapan negara yang berdiri bersama AS dalam memberikan suara 'tidak' untuk resolusi itu, termasuk Guatemala dan Honduras. Guatemala dan Honduras sama-sama bergantung pada pendanaan AS untuk memperbaiki sistem keamanan di wilayah mereka yang dikuasai geng kriminal.

Kedua negara itu, bersama dengan El Salvador, dikenal sebagai Segitiga Utara Amerika Tengah. Kekerasan, korupsi, dan kemiskinan menjadikan mereka sebagai sumber utama migrasi ilegal ke AS, yang memberi mereka pemasukan sebesar 750 juta dolar AS setahun.

Morales, sama seperti Trump, adalah seorang entertainer televisi tanpa pengalaman politik sebelum menjadi presiden Guatemala pada 2016.

"Guatemala secara historis pro-Israel. Dalam 70 tahun hubungan, Israel adalah sekutu kami. Kami memiliki cara berpikir Kristen, dan juga cara berpolitik, kami percaya Israel adalah sekutu kami dan kami harus mendukungnya," kata Morales, saat membela keputusannya mendukung AS di Majelis Umum PBB, dalam sebuah konferensi pers di Guatemala City, Jumat (22/12).

Posisi Morales telah semakin rapuh dalam beberapa bulan terakhir karena tuduhan korupsi terhadapnya. Kasus itu sedang diselidiki oleh sebuah badan khusus yang didukung PBB, yang bekerja sama dengan jaksa Guatemala.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement