REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai penyelenggara pilkada belum secara tegas mendefinisikan politik SARA dalam pelaksanaan pilkada. Definisi yang belum tegas ini menurutnya berpotensi melonggarkan penindakan terhadap pelanggaran pilkada yang mengandung unsur politik SARA.
Menurut Ray, saat ini politik SARA dalam pilkada cenderung lebih banyak mengarah kepada agama. Dia mencontohkan hal dengan adanya seruan jangan memilih salah satu calon kepala daerah karena beragama tertentu, atau karena berbeda agama.
Padahal, lanjut dia, setidaknya ada tiga istilah di dalam SARA itu sendiri yakni suku, ras, agama dan antargolongan. "Kegamangan soal politik SARA belum selesai sebab ada ketidakjelasan terhadap apa yang dimaksud dengan politik SARA itu sendiri," ujar Ray dalam diskusi bertajuk'Tutup Tahun 2017, Sambut Tahun Politik 2018," di D' Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).
Ketidakjelasan terhadap batasan mengenai politik SARA tersebut akhirnya membuat penyelenggara pemilu masih tidak responsif dengan isu SARA. "Sebab tidak ada pijakan bahwa jika satu pihak melakukan tindakan tertentu akan dianggap melakukan kampanye SARA atau sebagainya," kata Ray.
Padahal, kata dia, potensi penggunaan politik SARA dalam Pilkada 2018 sangat tinggi. Ray menyebut beberapa daerah dengan kecenderungan kampanye menggunakan unsur SARA yakni Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Selain batasan yang belum tegas, Ray juga mengkritisi sanksi penggunaan politik SARA dalam Pilkada. Sanksi selama satu tahun dan denda sebesar Rp 1 juta bagi para pelaku yang terbukti menggunakan isu SARA dalam Pilkada dinilainya terlalu rendah.
"Mengingat ancamannya yang terlalu rendah, itulah mengapa isu SARA ini akan dipakai sedemikian rupa dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Sanksinya ringan, sementara cakupannya sangat uas serta amat efektif untuk mendongkrak atau menjatuhkan elektabilitas seseorang," kata Ray.