REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program pemerintah untuk mewujudkan 1.000 desa mandiri benih rupanya tidak berjalan baik. Hingga saat ini hanya ada satu atau dua titik, itu pun sebatas proyek percontohan atau pilot project.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun SPI 2017, Rabu (27/12). "Sekarang lebih banyak menggunakan benih-benih hibrida, benih-benih perusahaan kemudian juga pupuk kimia lebih besar," ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian masih melakukan mobilisasi dan intensifikasi produksi melalui penerapan revolusi hijau dan ketahanan pangan dengan penggunaan benih korporasi, pupuk kimia berbahaya dan obatan-obatan anorganik lainnya. Hal ini tampak jelas dengan subsidi pupuk kimia dalam jumlah besar yang artinya masih menggunakan pupuk yang diproduksi oleh korporasi.
Sementara, desa mandiri benih mengutamakan benih yang memang diproduksi oleh petani sendiri dengan menerapkan metode agroekologi. Itu artinya, sistem yang ada saat ini justru akan menghilangkan kegiatan petani terhadap benih.
Ke depannya, petani akan bergantung pada benih perusahaan. Padahal, penggunaan benih perusahaan itu adalah satu paket dengan penggunaan pupuk tertentu. Lagi-lagi, ia melanjutkan, petani akan dibuat bergantung pada korporasi.
"Jadi memang ada hambatan besar bagi Jokowi untuk mewujudkan daulat benih itu," ujarnya.
Untuk diketahui, program 1.000 desa mandiri benih masuk dalam Nawacita 2014-2019 terkait Kedualatan Pangan. Namun diakui Zainal, sampai tahun ketiga kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini belum terlihat adanya kemajuan dari program tersebut.
Menurutnya, dibanding memberikan subsidi pada perusahaan, dana subsidi pupuk lebih baik dialihkan ke pelatihan kepada petani. Pelatihan bisa berupa bagaimana memproduksi benih sehingga bisa mendukung terwujudnya Desa Mandiri Benih.
"Tapi tentunya ini akan mengganggu korporasi," ujarnya.
Pihaknya pun berupaya memperjuangkan diterapkannya agroekologi, bukan lagi revolusi hijau. Ia menambahkan, SPI telah melakukan pembicaraan dengan Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia untuk pergeseran Revolusi Hijau ke agroekologi. Sebab, agroekologi mensyaratkan benih lokal dan pupuk organik.
Menurutnya, FAO memiliki peran normatif untuk memaksa anggotanya melakukan kebijakan pertanian. Sehingga perlu upaya transformasi dari revolusi hijau ke agroekologi. "Karena sudah gagal revolusi hijau itu," tegas dia