REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat HAM dan Antikorupsi Haris Azhar menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama saja memperdagangkan mata penyidiknya sendiri, Novel Baswedan, ketika membatalkan niatnya membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Haris dan beberapa rekannya mengaku sempat bertemu dengan pimpinan KPK untuk membicarakan kasus Novel. Dalam pembicaraan tersebut, disetujui bahwa TGPF memang harus dibentuk.
"Tapi saat bertemu dengan Kapolda Idham Azis berubah, bahwa TGPF tidak perlu," kata dia dalam diskusi bertajuk Catatan Akhir Tahun 2017: Satu Tahun Politik Anti Korupsi Pemerintahan Jokowi, di Jakarta, Rabu (27/12).
Dikatakan tidak perlu, lanjut Haris, karena Polda Metro Jaya membawa sketsa kedua pelaku penyiraman Novel saat datang ke kantor KPK. "Di situ menurut saya KPK sepertinya memperdagangkan mata Novel, memperdagangkan uang rakyat, hanya karena satu sketsa," tutur dia.
Haris juga mengakui KPK memang bukan institusi yang terbebas dari dosa. Namun, di dalamnya terdapat banyak orang yang bersemangat bekerja. Tapi, menurutnya, semangat mereka digadai oleh orang-orang yang sengaja dimasukan ke KPK.
"Ditukar dengan tarik-menarik kekuatan politik, itu yang menurut saya patut disesali," ujarnya.
Menurut Haris, kasus penyerangan Novel yang hingga kini belum ditemukan pelakunya menjadi salah satu contoh. Sebelum Novel, juga banyak hal lain yang merugikan KPK. Misalnya perampasan informasi dan inilah yang membuat terjadinya tawar-menawar.
"Sebelum Novel ini banyak pegawai KPK diserang, bukan hanya subyek, tapi barang bukti juga. Kerjaan mereka saling mengintel. Infomasi dicuri. Itulah yang secara tak sadar membangun ruang tawar-menawar," ujar mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu.