REPUBLIKA.CO.ID, Jutaan Muslim telah menjadi korban serangan karena Islamofobia selama 2017. Mulai dari pelecehan karena simbol Islam, serangan secara verbal hingga serangan yang berakhir dengan hilangnya nyawa. Peningkatan serangan ini merupakan imbas dari semakin banyaknya serangan-serangan yang mengatasnamakan Islam. Dilansir Independent, salah satu pencetus maraknya Islamofobia di Amerika adalah karena Presidennya, Donald Trump.
Sifat orang nomor satu di AS ini terkenal bigot dan terang-terangan Islamofobia. Karena hal tersebut, warga Muslim di Amerika pun menjadi lebih rentan diserang. Kondisi ini bahkan lebih parah dari sejak peristiwa 9/11. Seorang aktivis Muslim, Ibrahim Hooper mengatakan penduduk Muslim jadi lebih khawatir dan takut untuk beraktivitas sosial sambil menunjukkan identitas keagamaan mereka. Perempuan menjadi yang paling rentan karena menggunakan kerudung.
"Kini lebih buruk daripada setelah 9/11 lalu, ia (Trump) seperti mendukung dan mendorong supremasi kulit putih dan kefanatikan," kata Hooper. Dulu, serangan Islamofobia masih sembunyi-sembunyi, sekarang sudah terang-terangan bahkan ditunjukkan dengan bangga.
2017 menjadi salah satu tahun dengan banyaknya episode kekerasan anti-Muslim di kancah internasional. Pada Mei lalu, dua orang meninggal dan satu terluka karena melerai seorang pria yang melecehkan dua muslimah. Di Quebec Kanada, enam orang Muslim tewas dan 10 orang terluka karena ditembak membabi buta. Hooper mengatakan banyak aksi-aksi Islamofobia yang tidak terliput oleh media.
Organisasi yang ia bentuk, Council On American-Islamic Relations sudah mencoba mengumpulkannya. Menurutnya, antara Januari hingga September 2017, CAIR mencatat ada 1.656 serangan bias dan 195 serangan kebencian. Jumlah ini naik sebesar sembilan persen pada serangan bias dan 20 persen pada serangan kebencian tahun 2016.
"Menurut perkiraan awal, tahun 2017 ini adalah yang paling parah untuk serangan anti-Muslim, sejak kita melakukan dokumentasi," kata koordinator penelitian dan advokasi Zainab Arain.
Trump berperan besar. Selain di rumahnya sendiri di AS, sikap Trump pun menginspirasi serangan di negara lain. Sejak kampanyenya yang menyedot perhatian dunia, ia terang-terangan membicarakan Muslim sebagai ancaman. Trump menerapkan larangan Muslim dari negara tertentu masuk AS. Ia juga vokal ketika ada serangan yang dilakukan mengatasnamakan Islam.
Saat penembakkan di San Bernardino, California yang menewaskan 14 orang, Trump seperti bangga menyatakan dirinya benar. Trump bahkan ikut menyebarkan video anti-Islam di akun Twitternya yang memiliki jutaan pengikut. Tiga video tersebut awalnya diunggah oleh kelompok sayap kanan Inggris, Britain First.
Di Inggris, serangan Islamofobia meningkat lebih dari 500 persen di sekitar Manchester setelah serangan bom bunuh diri di konser Ariana Grande. Dilansir Guardian, ada 224 serangan anti-Islam dalam sebulan setelah serangan dibanding periode yang sama pada 2016.
Greater Manchester Police (GMP) pun meningkatkan perlindugan pada komunitas Muslim. Kejahatan karena ras juga mengalami peningkatan sebesar 61 persen menjadi 778 insiden dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Detail kejadian Islamofobia tidak dijelaskan. Namun ada diantaranya serangan verbal pada murid-murid sekolah Muslim dan masjid. Seorang anak 14 tahun mengaku dibentak seseorang yang menyebutnya teroris.
Kepolisian Met London mencatat 1.260 insiden Islamofobia dalam satu tahun hingga Maret 2017. Angka ini merupakan peningkatan pesat sebesar 66 persen sejak 2016. Pada 2013 serangan Islamofobia yakni sebanyak 343 insiden.
Sejumlah insiden Islamofobia juga terjadi di Australia. Seperti serangan verbal, percobaan penusukan dengan pisau pada empat muslimah di Sydney hingga diskriminasi bahwa Muslim tidak boleh masuk ke sebuah acara expo karir. Di Quebec, terjadi penembakan di masjid yang menewaskan enam orang dan melukai 19 orang lainnya. Insiden pada 29 Januari ini diklasifikasikan sebagai kejahatan kebencian dan serangan Islamofobia. Di Afrika pun terjadi penembakan yang menewaskan 25 orang di masjid.