REPUBLIKA.CO.ID, Perjuangan kaum perempuan bangsa ini adalah untuk membebaskan, mendorong, dan mengurangi kemiskinan.
Aisyiyah sebagai sebuah gerakan perempuan Islam berkemajuan kini sudah memasuki awal abad kedua. Sebab usia Aisyiyah sudah melebihi satu abad yakni 104 tahun Hijriyah dan 100 tahun Masehi.
Sejak awal berdiri hingga kini Aisyiyah sebagai gerakan perempuan muslim yang memiliki visi dakwah rahmatan lil ‘alamin yang memajukan masyarakat, termasuk secara khusus kaum perempuan," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Noordjannah Djohantini kepada Republika di kantornya.
Aisyiyah berdiri di zaman masa penjajahan dan waktu itu perempuan selalu ditempatkan di sisi yang tidak pas, dalam kondisi ketertinggalan dan kebodohan. Keadaan yang kurang menguntungkan itu masih ditambah oleh paham budaya yang menempatkan perempuan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang dipahami oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sehingga pandangan keislamanpun pada saat itu masih menempatkan perempuan pada posisi kedua.
Padahal Kyai dan Nyai Dahlan bersama para tokoh di awal Muhammadiyah berdiri memiliki padangan keislaman yang berkemajuan. Dimana Muhammadiyah meyakini jika nilai-nilai ajaran Islam itu menempatkan posisi perempuan sama mulianya dengan posisi laki-laki. Dan, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah ketaqwaannya.
"Sejak awal berdirinya, Aisyiyah memang sebuah sejarah yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam dimana perempuan punya potensi yang diberikan Allah, guna beribadah berkarya secara lebih luas, baik untuk diri, keluarga, maupun kepentingan kemanusiaan universal," kata Noordjannah.
Sama mulianya
Di situlah letak pandangan Kyai Dahlan dengan ajaran Islam bahwa perempuan pada posisi makhluk yang sama mulianya dan didorong untuk bergerak, bekerja dan beramaliah luas. Mengenai hal ini lanjut dia, juga diterangkan dalam Surat An Nahl ayat 97, yang artinya, barang siapa yang beramal saleh baik lak-laki maupun perempuan dan dia mukmin maka akan mendapatkan kehidupan yang baik.
"Aisyiyah didirkan oleh seorang kyai yang pandangannya melampaui zamannya, sehingga para perempuan Muhammadiyah itu bisa berkiprah," ungkapnya.
Lebih lanjut Noordjannah mengatakan kalau bicara Aisyiyah dalam konteks kebangsaan dengan pandangan keislaman para pendirinya, maka sudah menjadi sebuah keterpanggilan Aisyiyah ikut terlibat berjuang melalui pergerakan perempuan Indonesia untuk perjuangan kemerdekaan.
Dan ini yang selalu menjadi tonggak sejarah keterlibatan Aisyiyah yakni menjadi salah satu inisiator dalam kongres perempuan pertama di Yogyakarta tahun 1928. Ia menegaskan, Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember itu jangan sampai disamakan dengan dengan Hari Ibu di negara lain yang disebut Mothers Day.
Karena Hari ibu di Indonesia itu bermula dari Kongres perempuan pertama yang justru sebagai bukti perjuangan perempuan untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia demi persatuan Indonesia, untuk kepentingan bangsa, serta perjuangan bangsa dan perempuan Indonesia.
"Sangat tidak cocok dan justru dikerdilkan kalau dalam memperingati Hari Ibu dengan cara tidak pas tidak sesuai dengan semangat Hari Ibu awal. Misalnya dengan membebaskan ibu-ibu masak dan atau memberikan simbol-simbol lainnya," ujar istri ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir ini.
Berdayakan Perempuan
Dalam konteks sekarang ini, semestinya semangat perjuangan kaum perempuan bangsa ini adalah untuk membebaskan, mendorong dan mengurangi kemiskinan, memberdayakan perempuan menjadikan keluarga yang kokoh berkarakter dam sakinah serta memiliki nilai-nilai agama dan semangat untuk mencari kehidupan lebih baik.
Di samping itu juga semangat utuk membangun solidaritas yang saat ini mudah tercabik-cabik, sehingg perlu semangat untuk membangun kebersamaan, merekatkan semua komponen, yang dengan sifat kelebihan perempuan untuk bisa berempati serta peduli. Hal itulah yang harus dikuatkan.
Ia mengingatkan, dalam konteks politik sekarang ini, Aisyiyah harus ikut membangun kehidupan demokrasi dengan kehidupan demokrasi yang bermartabat. Jangan mentolerir cara-cara yang maksudnya untuk kepentingan berdemokrasi, tetapi dengan cara-cara yang tidak jujur, kekerasan, tipu-tipu sana-sini dalam banyak hal termasuk dalam pilkada.