REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id
Sep Malion Dolarman (25 tahun), begitu nama lengkap pria yang tertera di kartu surat izin mengemudi (SIM)-nya. Pemuda yang tinggal di Nagari (sebutan desa di Sumatra Barat) Salibutan, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman itu, sudah empat tahun tidak memakai mesin pemotong kayunya.
Padahal, sejak 2008 hingga 2013, dia berprofesi sebagai pembalak liar di hutan Gamaran, yang masuk dalam Nagari Salibutan. Saat itu, hampir setiap hari dia bersama kelompoknya yang terdiri dari empat orang pergi ke hutan untuk menebang pohon jenis banio dan maranti.
Satu batang pohon yang didapat dialirkan ke sungai yang berasal dari air terjun Nyarai ke perkampungan. Kayunya kemudian dijual ke agen penjual bahan bangunan. Tidak hanya Sep dan kelompoknya yang menebang pohon di hutan Gamaran, tapi banyak kelompok lainnya yang melakukan hal serupa. Setiap hari ada 15 batang pohon banio dan ranti yang ditebang.
Mereka selama puluhan tahun menggantungkan mata pencahariannya dengan menebang pohon yang di hutan seluas 500 hektare tersebut. Padahal, hutan itu berstatus sebagai hutan lindung Cagar Alam Nasional Bukit Barisan. “Ya, kita dulu adalah pembalak liar,” kata Sep kepada Republika.co.id, Selasa (26/12).
Namun, empat tahun terakhir warga meninggalkan pekerjaan itu. Mereka sadar menjadi pembalak liar justru merugikan lingkungan dan masyarakat. Karena, hutan menjadi rusak dan kerap terjadi banjir bandang.
Kesadaran warga tak muncul begitu saja. Ada seorang pemuda yang mengingatkan dampak dari pembalakan liar. Namun, tidak hanya mengingatkan, pemuda itu juga memberikan solusi kepada warga sebagai ‘kompensasi’ sebagai pengganti jika harus meninggalkan pekerjaannya sebagai pembalak liar. Yaitu, warga dilibatkan dalam kegiatan wisata alam di hutan Gamaran dan air terjun Nyarai. “Nama anak muda itu Bang Ritno Kurniawan,” kata Sep.
Warga yang sebelumnya memang sudah memiliki keahlian alam menjelajah hutan sebagai pembalak, kemudian menjadi pemandu bagi wisatawan yang ingin merasakan kegiatan di alam terbuka. Bagi para pemandu, mereka masuk dalam kelompok Lubuk Alung (LA) Adventure yang dipimpin oleh Ritno Kurniawan. Kelompok inilah yang menjadi pengelola wisata alam di hutan Gamaran dan air terjun Nyarai hingga sekarang.
Sekarang, ada 174 warga yang bekerja sebagai pemandu wisata. Sedangkan 20 orang warga lainnya direkrut menjadi pengurus LA Adventure. Para pengurus itu bertanggung jawab dalam pengelolaan wisata yang mencakup kebersihan, lingkungan, administrasi, parkir, keamanan, hingga hubungan masyarakat (promosi).
Tidak hanya memberikan pekerjaan baru baru bagi para mantan pembalak liar itu, kegiatan ini juga memberikan rezeki bagi warga lainnya. Warga membuka usaha makanan, souvenir, penginapan (home stay), hingga biro perjalanan.
Sebagai contoh, Sep menceritakan, jika wisatawan yang berjumlah di atas 30 orang, ibu-ibu di kampung dilibatkan untuk mengurus konsumsinya dan diminta untuk menghidangkan makanan lokal yang khas.
Apalagi, wisatawannya tidak hanya berasal dari Sumatra Barat, tetapi juga dari Riau, Batam, Jakarta, hingga Malaysia. Sehingga, bisnis penjemputan dari bandara ke area wisata juga menjadi hidup. “Hasil yang kita dapat sekarang jauh lebih besar daripada menjadi pembalak liar dulu,” kata Sep.
Tidak hanya mendatangkan rezeki, Nagari Salibutan mendapat manfaat lainnya dari sisi alam. Semenjak jalur wisata ini dibuka, warga gemar melakukan reboisasi atau penanaman pohon kembali di hutan. “Alhamdulillah sekarang tidak ada lagi banjir bandang di kampung kami,” kata Sep.
Air terjun Nyarai di hutan Gamaran, Kabupaten Padang Pariaman (Foto: Ritno Kurniawan/LA Adventure)
Mengubah pola pikir
Dalam keterangannya, Sep dua kali menyebut nama Ritno Kurniawan sebagai orang yang berjasa dalam mengubah pola pikir warga Nagari Salibutan. Siapa sosok yang disebut oleh Sep tersebut?
Ceritanya bermula ketika Ritno Kurniawan yang merupakan pemuda Nagari Salibutan kembali dari perantauannya menuntut ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2012. Sejak lulus kuliah dia bertekad untuk membangun kampung halamannya.
Namun, setibanya di kampung halaman, dia merasa sedih melihat kondisi hutan yang rusak akibat pembalakan liar. Tidak hanya hutan yang rusak, tetapi juga sungainya. Karena jika hujan datang, air hujan tak bisa lagi tertampung oleh pepohonan di hutan yang mengakibatkan tanah menjadi tergerus dan terbawa ke sungai.
Kondisi ini tak bisa dia biarkan. Namun, dia juga belum tahu apa yang akan dikerjakan. Sembari menunggu ide, dia meneruskan hobinya untuk menjelajah hutan. Sejak usia sekolah dia memang sudah aktif di pramuka.
Saat menjelajah hutan itulah, dia mendapatkan informasi dari warga bahwa di hutan Gamaran ada air terjun Nyarai yang indah. Ritno kemudian mengajak teman-temannya untuk menelusuri air terjun yang jaraknya sekitar 12 km dari perkampungan.
“Saya kaget begitu melihat air terjun Nyarai. Potensi alam ini dibiarkan begitu saja tidak dikelola. Padahal, ini bisa menjadi potensi wisata yang mendatangkan keuntungan bagi warga,” kata Ritno, Sabtu (23/12).
Air Terjun setinggi delapan meter ini dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan bebatuan besar. Jika dilihat dari atas, air yang turun dari air terjun seperti dibendung dua batu besar sebelum akhirnya masuk ke dalam kolam dengan air jernih berwarna hijau.
Di dalam kolam berwarna hijau itu banyak terdapat ikan. Di atas kolam menggelantung ayunan akar pohon yang bisa dijadikan permainan.
Kemudian, Ritno berinisiatif untuk mendekati warga. Saat ada rapat atau pertemuan warga dia datang, tapi belum mengutarakan idenya untuk menjadikan air terjun Nyarai sebagai tempat wisata dan menghentikan kegiatan pembalakan liar.
Dia baru memikirkan bagaimana caranya untuk berbicara kepada warga dan memetakan siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk didekati. Maklum, yang akan dia utarakan ini adalah masalah sensitif karena menyinggung soal mata pencaharian warga.
Baru di pertemuan kedua dengan warga, Ritno mengutarakan idenya. “Warga ternyata menolak ide ini karena mereka menolak untuk tidak lagi menebang pohon di hutan,” kata Ritno.
Ritno tidak menyerah, dia mendatangi para tokoh masyarakat dan adat. Dia menyampaikan kalau warga bersedia menghentikan kegiatan pembalakan liar dan mengembangkan wisata maka warga akan mendapatkan banyak keuntungan. Selain keuntungan ekonomi juga keuntungan membuat lingkungan menjadi terjaga.
Upaya ini dia lakukan selama enam bulan. Akhirnya, Ritno memperoleh hasilnya. Warga menerima ide ini dan bersedia berhenti menjadi pembalak liar. Kemudian, mereka bersama-sama untuk mengembangkan potensi wisata hutan Gamaran dan air terjun Nyarai.
Oleh Ritno, warga diberikan pengarahan berupa teori dan praktik untuk mengelola sebuah tempat wisata alam. Mereka diberikan pelatihan seperti cara memandu hingga membuat registrasi pengunjung. Kemudian, Ritno dan warga memetakan jalur tracking ke hutan Gamaran dan air terjun Nyarai.
Untuk mempersingkat jalur agar pengunjung tidak terlalu lelah, dibuatkan jembatan menyeberangi sungai. Sehingga, jalur tracking dari perkampungan ke air terjun Nyarai dipangkas dari 12 km menjadi 7 km.
Tak lupa, Ritno juga menyiapkan sistem pembagian hasil keuntungan yang transparan. Tujuannya agar warga juga mendapatkan keuntungan.
“Alhamdulillah, setelah melewati proses persiapan itu, pada 2013 hutan Gamaran dan air terjun Nyarai kita buka sebagai objek wisata alam,” kata Ritno.
Saat ini, wisatawan bisa menikmati petualangan wisata alam ke hutan Gamaran dan air terjun Nyarai. Butuh waktu waktu dua sampai tiga jam untuk mencapai air terjun, jika mulai berjalan dari perkampungan.
Perjalanan ke air terjun diawali dengan melewati persawahan warga, setelah itu menyusuri hutan Gamaran. Selama perjalanan wisawatan melewati beberapa lubuk (semacam kolam di sungai) yang indah. Ada lubuk Lalang, ada lubuk Ngugun, dan lubuak Batu Tuduang.
Wisatawan juga disuguhi paket perjalanan wisata alam. Mulai paket fun tubing (menelusuri sungai), paket bird watching (melihat burung di hutan), dan paket camping. Adapun biaya yang dikenakan mulai dari Rp 40 ribu per orang hingga Rp 100 ribu per orang.
Para wisatawan harus tergabung dalam satu kelompok yang terdiri dari lima orang. Hingga 2017, jumlah wisatawan yang mengikuti petualangan wisata alam ini telah mencapai lebih dari 80 ribu orang. Jumlah tersebut berdasarkan registrasi pengunjung.
Tanpa melupakan kearifan lokal masyarakat setempat, para wisatawan harus mengikuti peraturan yang ditetapkan. Misalnya, dilarang membawa narkoba dan minuman keras. Setiap Jumat, kegiatan wisata libur karena menghormati warga yang melaksanakan shalat Jumat.
Diakui
Sekarang, masyarakat Nagari Salibutan telah merasakan manfaat dari pembukaan jalur wisata alam. Perekonomian warga pun semakin membaik. Bahkan, status IDT (inpres desa tertinggal) yang dulu disematkan ke Nagari Salibutan telah dicabut pemerintah karena adanya perubahan ekonomi warga.
“Dulu statusnya IDT, sekarang sudah tidak lagi karena ada pergerakan ekonomi di sana melalui kegiatan wisata alam ini,” kata Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Padang Pariaman, Wiwik Herawati, Rabu (27/12).
Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman, lanjut Wiwik, sangat mendukung pengelolaan wisata oleh warga. Kelompok Ritno dengan LA Adventurenya ini termasuk kategori kelompok sadar wisata (pokdarwis). Dan, karena membawa perubahan besar, pokdarwis pimpinan Ritno ini mendapat juara lomba pokdarwis versi Kementerian Pariwisata pada 2014 lalu.
Tidak hanya penghargaan tingkat nasional, kelompok Ritno juga menjadi juara 1 Asosiasi "outdoor" Eropa yang peduli pada isu lingkungan dan wisata "outdoor" dunia (EOCA) 2016.
Hal ini tentu saja berdampak pengembangan wisata berbasis kelompok masyarakat di Nagari Salibutan menjadi percontohan daerah lainnya. Tidak hanya dari Sumatra Barat yang belajar mengelola sebuah wisata alam, tetapi juga dari Pemerintah Provinsi Jambi yang pernah melakukan studi banding ke Nagari Salibutan.
Ritno juga sering diundang menjadi narasumber untuk bidang kepemudaan dan pengelolaan pariwisata di daerah lain. Selain itu, penghargaan juga dia dapatkan dari PT Astra International Tbk dengan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017.
Di mana, penghargaan ini diberikan bagi generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru Tanah Air. Terutama, dalam bidang pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, kesehatan, dan teknologi.
Head of Public Relations PT Astra International Tbk Yulian Warman, mengatakan, tim penilai penghargaan Satu Indonesia Awards 2017 yang terdiri dari juri berkompeten, yaitu Emil Salim (dosen ilmu lingkungan UI/mantan menteri lingkungan hidup), Nila Moeloek (menteri kesehatan), Fasli Jalal (guru besar pascasarjana UNJ), Tri Mumpuni (pendiri IBEKA), Onno W Purbo (pakar teknologi informasi), Bambang Harymurti (komisaris PT Tempo Inti Media), Yulian Warman (head of public relation division PT Astra International Tbk), dan Riza Deliansyah (head of environment and social responsibility division PT Astra International Tbk), menilai Ritno telah membawa perubahan besar.
Yakni, dengan sabar dan penuh inovasi dia mengubah pola pikir masyarakat di Nagari Salibutan untuk tidak lagi menjadi pembalak liar. “Ini sebuah pekerjaan yang sulit kalau tidak punya jiwa kepemimpinan yang kuat dan sabar. Apalagi, mengubah pola pikir masyarakat,” kata Yulian yang juga masuk dalam tim juri Satu Indonesia Awards 2017 tersebut.
Menurut Yulian, pemberian penghargaan Satu Indonesia Awards sangat sulit dan tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Untuk 2017 saja, Ritno dan tujuh orang lainnya yang mendapatkan penghargaan menyisihkan calon peraih penghargaan lainnya yang berjumlah 3.000 orang lebih. “Kita mencari pemuda pemudi seperti Ritno yang berjiwa mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi dia sendiri,” kata Yulian.