Selasa 02 Jan 2018 20:13 WIB

Mengenal Istilah Mullah

Rep: Nasih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Para calon mullah (ilustrasi).
Foto: theatlantic.com
Para calon mullah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Istilah mullah dilekatkan untuk menunjukkan tingkatan jabatan ulama di wilayah Iran. Menurut Ensiklopdi Oxford Dunia Islam Modern, penggunaannya mulai berlaku sejak periode Shafawiyah (907-1145 H/1501-1722 M). Tanpa terkecuali, kata mullah mengacu pada laki-laki. Tetapi dalam praktiknya, terjadi perluasan makna kata mullah yang mencakup pula perempuan, seperti mullabaji. Istilah ini diperluas dengan memasukkan ulama perempuan, terutama guru perempuan di sekolah perempuan.

Dalam Pemerintahan Shafawiyah, istilah mullabasyi mengacu pada pejabat keagamaan tingkat tinggi yang mengemban sejumlah fungsi, termasuk pendidikan agama untuk keistanaan. Jabatan itu kemudian berkembang menjadi posisi yang paling bergengsi di Istana Shafawiyah. 

Di kalangan ulama sendiri, istilah mullah merupakan ungkapan penghormatan tertinggi untuk pakar ilmu keagamaan. Filsuf terkenal dari periode Shafawiyah, Mulla Shadra Syirazi (1050 H/1640 M), mungkin memperoleh namanya dari gabungan antarmullah, dalam hal ini berarti yang paling tinggi ilmunya, dan gelar lain ialah Shadr Al Din, sebagai gelar kehormatannya. 

Selama periode Qajar (1193-1342 H/1779-1925 M), mullah diterapkan sebagai gelar kehormatan bagi sejumlah guru di istana. Mullah Ali Ashghar Hazarjaribi, yang dikenal sebagai Mullahbasyi (1213 H), adalah seorang guru bagi pangeran Qajar ternama Abbas Mirza dan sejumlah pangeran lainnya.

Sebagai sebuah kelompok sosial yang sadar akan dirinya, mullah memainkan peran penting dalam sejarah sosial Iran, setidak-tidaknya sejak periode Qajar. Keikutsertaan mereka secara aktif selama Revolusi Konstitusional berlanjut hingga abad ke-20. Revolusi yang terjadi di Iran pada 1979 umumnya dipelopori oleh para mullah.

Di luar keterlibatan politik, mullah pada prinsipnya bertugas menjalankan fungsi dan upaya keagamaan di Iran. Mereka pada umumnya bertugas menjalankan fungsi dan upacara keagamaan di Iran. Sebagai kelas yang dikenal juga dengan akhund ruhaniyun, atau ulama, mereka adalah penafsir utama hukumhukum Islam bagi orang-orang Syiah.

Menjelang akhir pemerintah Qajar, istilah tersebut dikonotasikan negatif sebagai penandaan untuk ulama ting kat rendah. Dimulai dengan Revolusi Konstitusional Iran (1906-1901), istilah itu mengandung konotasi miring, yang digunakan oleh orang-orang sekuler untuk menandai kecenderungan antimodern dan reaksioner. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement