REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pemimpin Hamas Ismail Haniya menyerukan diakhirinya proses perdamaian antara Palestina dengan Israel. Ini setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia juga telah menyerukan gerakan intifada baru.
Pernyataan Haniya ini disampaikan setelah parlemen Israel, Knesset, menyetujui undang-undang yang membuat status Yerusalem lebih sulit untuk diubah, pada Senin (1/1). Menurut undang-undang tersebut, upaya untuk mengubah status resmi dan batas kota Yerusalem memerlukan persetujuan 80 dari 120 anggota majelis.
Langkah ini diambil kurang dari sebulan setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan ini telah menimbulkan kecaman luas dari seluruh dunia Arab dan Muslim.
Haniya menekankan, ada banyak langkah yang diperlukan untuk mencegah AS mencapai tujuannya, termasuk merumuskan rencana persatuan Arab-Islam dalam koordinasi dengan badan-badan internasional yang mendukung hak-hak Palestina.
"Keputusan Israel dan AS membuat kita perlu bertindak berdasarkan dua tingkat politik. Yang pertama, tidak mempercayai proses perdamaian atau bahkan mengakhirinya. Yang kedua adalah mengakhiri proses normalisasi dengan Israel," ujar Haniyeh, dikutip Anadolu.
Baca juga, Marah dengan Zionis Hamas Tutup Perbatasan Gaza-Israel.
"Untuk melawan strategi Israel, kami menitikberatkan perhatian pada strategi komprehensif yang akan membuat keputusan Israel dan AS tidak sah di Yerusalem dan memungkinkan untuk meninjau kembali proyek penyelamatan nasional Palestina."
Dia menekankan, sebuah program yang melibatkan orang-orang Arab, Muslim, dan Palestina harus segera dibuat untuk membatalkan keputusan AS dan Israel terkait status Yerusalem.