REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Direktur Arsip Nasional Sudan Selatan Youssef Onyalla dengan hati-hati membalik dokumen sejarah negaranya yang sudah mulai menguning. Dokumen-dokumen itu telah menjadi saksi bisu masa lalu Sudan Selatan sebagai negara termuda di Afrika.
"Kami memiliki arsip mengenai suku-suku, kami memiliki dokumen tentang kasus pidana, dan kemudian kami memiliki banyak dokumen tentang intelijen, pertanian, pendidikan," kata Onyalla, dikutip Aljazirah.
Sudan Selatan tidak memiliki museum, jadi ribuan dokumen arsip disimpan di sebuah bangunan kecil di ibu kota Juba, sambil menunggu gedung arsip nasional dibangun. Dokumen-dokumen tersebut telah dikumpulkan sejak 2005.
Sebagian besar dari dokumen tersebut adalah catatan kolonial Inggris yang berasal dari abad ke-19, ketika Sudan Selatan masih menjadi bagian dari Sudan. Sudan Selatan merdeka pada 2011, namun dua tahun kemudian konflik pecah di negara ini.
Ribuan orang terbunuh dan lebih dari empat juta orang mengungsi dalam konflik tersebut. Konflik telah menghentikan rencana pemerintah untuk membangun gedung arsip negara.
Proyek pembangunan ini juga memerlukan bantuan dari donor internasional. Hal itu disebabkan karena konflik yang sedang berlangsung telah menyulitkan pendanaan negara.
"Memang benar konflik telah menyebabkan beberapa penundaan proyek. Mereka membutuhkan tempat yang layak, dokumen-dokumen ini sangat rapuh, beberapa di antaranya berusia lebih dari 100 tahun," kata Anna Rowett, manajer program Institut Rift Valley, sebuah organisasi penelitian dan pelatihan nirlaba.
Sementara itu, beberapa dokumen arsip telah dicetak ke dengan ukuran besar dan ditempel di dinding di ibu kota Juba. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong warga Sudan Selatan agar dapat belajar tentang sejarah mereka sendiri.
"Arsip-arsip ini mengajari saya tentang apa yang terjadi. Saya belajar sejarah negara saya, siapapun bisa membaca dan belajar tentang warisan mereka," ungkap Amira Ajak, salah seorang warga Sudan Selatan.