Kamis 04 Jan 2018 19:15 WIB

Sejak Remaja, Zaid Bin Tsabit Ingin Menjadi Mujahid

Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti/ Red: Agung Sasongko
Seorang jamaah haji asal Turki tengah mengamati salah satu bangunan masjid yg terkunci di komplek masjid Khandaq di Madinah, Arab Saudi, Senin (26/9).
Foto: Republika/ Amin Madani
Seorang jamaah haji asal Turki tengah mengamati salah satu bangunan masjid yg terkunci di komplek masjid Khandaq di Madinah, Arab Saudi, Senin (26/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu ketika, Rasulullah mengumpulkan pasukan di Madinah untuk berjalan ke selatan. Kekasih Allah itu memeriksa satu per satu prajuritnya untuk memastikan apakah sudah siap atau belum. Tiba-tiba Nabi menghentikan geraknya. Dia menatap seorang pemuda yang masih 13 tahun. Badannya lebih kecil dibandingkan dengan prajurit lain. Dialah Zaid bin Sabit.

Meski bertubuh kecil, Zaid mengaku memiliki semangat besar untuk memerangi musuh-musuh Islam demi menegakkan panji Allah. Semangat itu ditunjukkannya dengan membawa pedang berukuran lebih besar dari badannya.

Tanpa takut, Zaid mendatangi Rasulullah. "Aku mengabdikan diriku untukmu, utusan Allah, izinkan aku tinggal bersama Anda untuk melawan musuh-musuh di bawah panji-panjimu, ya Rasul," kata dia.

Rasul menatapnya dengan kagum dan menepuk bahunya dengan kelembutan. Nabi menolak Zaid karena masih terlalu muda. Pemuda itu menundukkan kepala, lalu berjalan pergi. Dia memperlihatkan kekecewaan dengan menancapkan pedangnya ke tanah sambil berjalan lambat.

Di belakangnya, sang ibu, Nawat binti Malik merasakan hal sama; sedih dan kecewa. Ibunda Zaid sangat ingin melihat anaknya pergi bersama tentara mujahid dan bersama Nabi.

Satu tahun kemudian, Zaid kembali mengajukan diri menjadi bagian dari tentara Muslim. Saat itu persiapan sedang dilakukan untuk mengadakan pertemuan dengan kaum Quraisy di Uhud. Sekelompok remaja Muslim mendekati Rasulullah lengkap dengan senjata perang berbagai jenis, seperti pedang, tombak, busur panah, dan perisai.

Mereka ingin menjadi tentara untuk menegakkan panji Allah. Di antara mereka adalah Rafi bin Khadij dan Samurah bin Jundub yang memiliki perawakan kuat dan telah cukup usia untuk memegang senjata. Keduanya diizinkan Rasulullah bergabung dengan pasukan lain.

Berbeda dengan Abdullah bin Umar dan Zaid bin Sabit, keduanya masih terlalu muda dan lagi-lagi dianggap belum cukup umur untuk ikut berperang. Rasul berjanji untuk mempertimbangkan mereka menjadi prajurit pada perang lain.

Saat usianya menginjak 16 tahun, sesuai janji Rasul, dia diizinkan berperang. Akhirnya dia membela kaum Muslimin saat Perang Khandaq. Pada saat ikut berperang, Zaid menyadari betapa sulitnya menegakkan panji kebesaran Islam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement