REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pihak penggugat masih memperkarakan pembubaran ormas HTI oleh pemerintah, yaitu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai pihak tergugat dalam sidang lanjutan pembacaan duplik Kemenkumham atas replik HTI, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis (4/1).
Kuasa hukum Kemenkumham yang terdiri atas Hafzan Taher, I Wayan Sudirta, Teguh Samudera bergantian membacakan duplik atas replik HTI, dalam sidang gugatan yang teregister di nomor 211/G/2017/PTUN-JKT.
Teguh Samudera menilai, HTI sudah tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan. Sebab, ketika surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan pengesahan pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI tertanggal 19 Juli 2017 sudah dikeluarkan, maka pihak HTI seharusnya tidak bisa menggugat.
"Tidak ada undang-undang yang menyebutkan acara PTUN berbeda untuk status badan hukum. UU itu berlaku umum, di mana saat surat (SK pencabutan HTI) itu keluar langsung mati (tidak bisa menggugat)," tambah dia dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (4/1).
Baca, Ismail Yusanto: Pemerintah tak Pernah Klarifikasi ke HTI.
Teguh mengungkapkan, dalam sidang duplik atas replik HTI, penggugat kerap kali mengangkat tema soal kemiskinan dan permasalahan sosial dalam mendirikan negara Islam. "HTI seperti ilusi ingin mendirikan negara Islam. Karenanya, tergugat berharap hakim persidangan dapat memperhatikan isi duplik yang dibacakan," ungkap dia.
Sementara itu, Hafzan mengungkapkan, penerbitan objek sengketa Tata Usaha Negara telah sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan. Tergugat, dalam hal ini pemerintah, menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan telah mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis dan filosofis.
Adapun, objek sengketa Tata Usaha Negara tersebut, telah dibuat sesuai prosedur, berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan. "Tergugat menerbitkan Objek Sengketa Tata Usaha Negara dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada mengenai kegiatan Penggugat selama ini," tuturnya.
Dalam sidang duplik tersebut, Hafzan mengatakan, ormas HTI menolak adanya pemilu dan mengangap demokrasi adalah produk sekuler. Dan dari bukti-bukti yang ada, tampak bahwa kegiatan penggugat mengancam eksistensi Pancasila selaku ideologi negara dan falsafah negara.
"Dan akan menggantikan UUD 1945 selaku Konstitusi NKRI sekaligus mengancam Keutuhan NKRI," kata dia.
Hafzan melanjutkan, penggugat telah mengadopsi dan menerjemahkan serta menerbitkan Rancangan Undang-Undang Dasar Islami Hizbut Tahrir (AD Dustur Al Islami) yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani.
Selain itu, penggugat juga telah mengadopsi, menerjemahkan dan menerbitkan Buku Peraturan Hidup dalam Islam (edisi Mutamadah) yang ditulis oleh syaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani.
Hafzan menambahkan, penggugat, dalam kegiatan yang dilaksanakan di berbagai daerah, telah menyatakan maksud dan tujuannya untuk mengganti Pancasila, menghapus sekat-sekat nasionalisme dan demokrasi, serta akan menggantikannya dengan sistem khilafah yang menghapus kedaulatan negara dan nantinya akan dipimpin satu khalifah tunggal.
"Penggugat telah melakukan upaya-upaya indoktrinasi dan provokasi untuk menghasut serta menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara, serta UUD 1945 sebagai Konstitusi NKRI," paparnya.
Kuasa hukum Kemenkumham lainnya, I Wayan Sudirta, menambahkan, sebelum menerbitkan objek sengketa, Kemenkumham sudah berkoordinasi dengan beberapa lembaga instansi. Kemenkumham di bawah koordinir Kemenkopolhukam atas nama pemerintah, juga memilki beberapa alat bukti bahwa HTI sesungguhnya tidak sepaham dengan ideologi negara yaitu Pancasila.
Bahkan menurutnya ormas HTI juga berencana membentuk suatu partai. Di berbagai daerah, HTI menyebutkan khilafah sebagai pengganti pancasila dan UUD 1945 itu pelanggaran pasti. Kemudian, lanjut I Wayan, tercatat dalam dua kali kegiatan di Gelora Bung Karno, HTI mewacanakan pergantian pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
"Mereka mendalilkan juga bahwa Menkumham telah salah dalam membuat keputusan. Padahal tiap keputusan yang bersifat ekstune, pejabat tata usaha negara membuat keputusan berdasarkan catatan peraturan yang ada dan sudah ada," ucap I Wayan.
Lebih lanjut, sidang gugatan atas pembubaran HTI ditunda pada Kamis 11 Januari 2018, dengan acara pembuktian berupa penyampaian bukti tertulis berupa surat dari penggugat.