REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat terbesar pula. Berdasarkan data penelitian dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Indonesia pada 2016 potensi zakat mencapai Rp 286 triliun.
Bahkan, sepanjang 2017 lalu pertumbuhan perzakatan nasional naik 20 persen. Angka tersebut dari akumulasi rata-rata pengumpulan zakat, infak, sedekah (ZIS) dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) secara nasional pada Baznas pusat, Bazna provinsi, Baznas kabupaten/kota dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB, Irfan Syauqi Beik menilai, capaian 20 persen merupakan angka terbesar dalam kurun waktu lima tahun penghimpunan zakat secara nasional. "Melihat tren penghimpunan 2017 mengalami peningkatan, untuk kurun waktu lima tahun terakhir merupakan pertumbuhan yang sangat tinggi," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jakarta, Kamis (4/1).
Namun, dia mengakui, pencapaian tersebut belum seimbang dengan potensi zakat di Indonesia. Kendala lainnya, masih banyak masyarakat yang belum memiliki edukasi pengelolaan zakat secara tepat.
Semisal, ada beberapa masyarakat di daerah yang masih membayarkan zakatnya secara langsung melalui mustahiq (penerima zakat). Padahal, menurut ajaran rasulullah disarankan membayar zakat ke tempat lembaga amil resmi.
"Ada juga masyarakat yang senang membayar zakat langsung ke mustahiq, ini sebaiknya diedukasi dan dikampanyekan bahwa berzakat yang mencontoh nabi adalah melalui lembaga amil. Kalau mau memberi mustahiq hanya infaq dan sedekah saja," ucapnya.
Di sisi penyaluran zakat, dia menyarankan, agar lembaga amil memiliki inovasi program dan tepat sasaran. Sehingga bisa menyakinkan masyarakat bahwa kinerja lembaga tersebut sesuai ketentuan
syariah dan UU yang berlaku.
"Kampanye edukasi dan sosialisasi dengan menyakinkan publik harus dilakukan dengan memanfaatkan media yang ada termasuk media sosial. Tidak mengandalkan program yang standar saja, hanya datang ke daerah mustahiq datang beri zakat tanda tangan setelah itu selesai," ungkapnya.
"Menyalurkan zakat lewat program efektif dan tepat sasaran kemudian mendorong proses transformasi masyarakat, misal dulu mustahiq kemudian kalau bisa jadi muzakki sehingga punya kemandiran," ujarnya.
Tak hanya itu, lembaga amil juga harus bisa meningkatkan kualitas penyaluran zakat. Sebab, berdasarkan data zakat nasional yang merupakan alat ukur penyaluran zakat bahwa lembaga amil Indonesia masih berada di level cukup.
"Ada upaya dari lembaga amil meningkatkan kualitas penyaluran zakat, dari sisi penyaluran indeks penyaluran zakat ada lima kriteria, nilainya sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan tidak baik. Saya melihat dari sisi penyaluran berada di cukup baik, kalau di kampus nilainya C sekarang bagaiamana dari level cukup baik menjadi baik atau sangat baik, ini menjadi pekerjaan," ungkapnya.
Terakhir, ia meminta lembaga amil di Indonesia bisa lebih transparansi dan akuntabilitas baik program serta laporan keuangannya. Ini menjadi penting, ketika masyarakat melihat realitas penyaluran secara baik, akuntabel, transparansi, sehingga muncul kesadaran menyalurkan zakat melalui lembaga amil resmi.
"Lembaga amil ada beberapa yang harus dilakukan, transparansi dan akuntabilitas menjadi prioritas utama, programnya harus bisa diaudit, diakses publik, laporan keuangan bisa diaudit dan juga bisa diakses publik. Karena publik butuh informasi," ucapnya.