REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Tengah mengirimkan surat protes terkait eks-Gedung Van Dorp, bangunan kuno di kawasan Kota Lama Semarang yang dicat berwarna-warni. "Kami ingin mendudukkan masalah sesuai aturan yang berlaku. Memang, menghidupkan kawasan Kota Lama bukan persoalan mudah, kami paham itu," kata Ketua IAI Jateng Sugiarto di Semarang, Kamis (4/1).
Eks-Gedung Van Dorp itu kini difungsikan menjadi Dream Museum Zone (DMZ), yakni museum tiga dimensi (3D) yang menampilkan setidaknya 120 gambar 3D yang dilukis langsung di lantai dan dinding bangunan. Di bagian depan gedung tersebut juga ikut dicat berwarna-warni menyesuaikan dengan beragam gambar 3D yang terdapat di dalam meski tidak mengubah struktur fasad atau bagian depan bangunan.
Menurut Sugiarto, perubahan fasad atau tampilan depan bangunan dengan nuansa warna-warni itu jelas melanggar Perda Nomor 8/2003 tentang Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Kota Lama. Semestinya, kata dia, tampilan luar bangunan cagar budaya harus dipertahankan, sebagaimana diatur dalam perda. Termasuk penggunaan cat yang boleh dipakai, seperti warna pastel, putih tulang, dan kuning gading.
Ia juga prihatin dengan perubohan bangunan kuno yang menjadi satu rangkaian dari eks-Gedung Van Dorp yang difungsikan sebagai lahan parkir oleh pemilik gedung yang jelas menyalahi regulasi. "Sebenarnya, anggota IAI yang terlibat perancangan tahap awal eks-Van Dorp sudah memberikan usulan agar bangunan cagar budaya dipertahankan. Pembongkaran hanya pada bangunan baru," katanya.
Akan tetapi, kata dia, usulan tersebut tidak ditanggapi oleh pemilik, investor, dan tentunya Pemerintah Kota Semarang. Sehingga bagian utara eks-Gedung Van Dorp kini sudah rata menjadi lahan parkir. "Jangan sampai ada lagi pembongkaran bangunan cagar budaya, apa pun itu. Namun, yang harus dilakukan segera adalah mengembalikan tampilan 'fasad' eks-Gedung Van Dorp itu seperti semula," katanya.
Surat protes itu, kata dia, sudah dikirimkan kepada Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang untuk melakukan pengkajian kembali karena dikhawatirkan bisa memengaruhi penilaian Unesco.