REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengemukakan penyaluran elpiji subsidi 3 kilogram perlu perbaikan karena tidak tepat sasaran, sebab masih jutaan warga atau rumah tangga kaya ikut menikmati subsidi tersebut.
"Sedikitnya 9,8 juta rumah tangga kaya ikut menikmati subsidi elpiji 3 kilogram, padahal sasaran subsidi elpiji tersebut adalah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan," kata Menkeu dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Terbuka Dies Natalis Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, Jumat (5/1).
Menurut Sri Mulyani yang kerap disapa Ani itu, berdasarkan analisis dari 25 juta rumah tangga kelompok 40 persen termiskin, hanya 13 juta di antaranya yang menikmati subsidi elpiji tersebut. Oleh karena itu, penyaluran elpiji subsidi perlu diperbaiki, terutama dari sisi ketepatan sasaran.
Untuk memperbaiki sistem penyaluran elpiji subsidi tersebut, kata Ani, pihaknya sedang mengujicobakan perbaikan sasaran dengan sistem tertutup. "Perbaikan agar tepat sasaran dengan sistem tertutup ini dilakukan secara bertahap dan sekarang sedang diujicobakan," ucapnya.
Selain upaya perbaikan penyaluran elpiji subsidi, kata Ani, pemerintah juga sedang berupaya memperluas cakupan kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terutama untuk masyarakat miskin, dari 86,4 juta jiwa pada tahun 2014 menjadi 92,4 juta jiwa pada 2018.
Penyaluran Kartu Indonesia Sehat (KIS) juga terus digenjot dan didistribusikan kepada 92,1 juta jiwa. Sejak 2015, alokasi anggaran kesehatan mencapai 5 persen dari APBN, untuk mendanai Program Indonesia Sehat melalui JKN, program KB, sertifikasi obat dan makanan, imunisasi, serta pencegahan stunting.
Menyinggung capaian perekonomian 2017, Ani mengatakan realisasi 2017 menunjukkan hal yang baik. Defisit anggaran terjaga pada tingkat 2,57 persen dari PDB, lebih kecil dari UU APBN sebesar 2,92 persen. Rasio utang terhadap PDB Indonesia tetap di bawah 30 persen dari PDB Indonesia.
Sedangkan realisasi penerimaan negara 2017 mencapai Rp1.655,8 triliun (95,4 persen dari target) dengan perpajakan merupakan kontributor utama dari penerimaan negara, yaitu sebesar Rp1.339,8 triliun atau 81 persen dari total penerimaan negara.
Penerimaan pajak non-migas jika tanpa memperhitungkan uang tebusan dari program Amnesti Pajak mencapai sekitar Rp1.076,8 triliun atau tumbuh sebesar 12,1 persen dari tahun 2016. Realisasi penerimaan PPN mencapai 100,6 persen dari target penerimaan Cukai, Bea Masuk serta Bea Keluar mencapai masing-masing 100,1, 105,1, dan 149,9 persen dari target yang ditetapkan dalam APBNP 2017.
Capaian ini, lanjutnya, didukung oleh beberapa faktor utama, seperti perbaikan kerja Kemenkeu, membaiknya daya beli masyarakat, pulihnya kinerja ekspor-impor Indonesia, membaiknya harga komoditas di pasaran internasional, serta efektifnya program DJBC dalam menertibkan importir dan cukai berisiko tinggi yang mulai dilaksanakan pada Juli 2017.
"Kinerja pemerintah menunjukkan hasil positif pada 2017, namun upaya mencapai kesejahteraan yang berkesinambungan perlu lebih dari sekedar kebijakan fiskal dan APBN. Penguatan kerangka institusi dan sinergi baik institusi pemerintahan dan non-pemerintahan adalah sangat penting," tuturnya.