Ahad 07 Jan 2018 04:43 WIB

Jenderal Ikut Pilkada, Pengamat: Akibat Kegagalan Kaderisasi

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Ratna Puspita
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.
Foto: dok. Pribadi
Pangi Syarwi Chaniago, Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah jenderal dari TNI dan Polri akan berpartisipasi Pilkada Serentak 2018 di beberapa daerah. Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago menilai, ada kegagalan sistem kaderisasi partai politik dengan mengusung para jenderal TNI/Polri ini untuk turun di pilkada. 

Menurut dia, ada tren partai mengambil jalan pintas yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik sehingga terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri. “Ambisi bintang TNI Polri di Pilkada semakin menguat akhir-akhir ini, di saat partai gagal melakukan kaderisasi,” kata Pangi dalam siaran persnya, Sabtu (6/1).

Ia menilai ada fenomena split ticket voting yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) dibandingkan dengan kader partai sendiri. Kemudian, parpol memprioritaskan figur eksternal atau melakukan outsourcing politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kader dari rahim parpol itu sendiri. 

Padahal, Pangi menuturkan, jauh lebih baik partai politik memberikan boarding pass pada kadernya dibandingkan kader eksternal. Dialektika Meritokrasi menjadi rusak, karena tak memajukan kader sendiri yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi. 

“Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini. 

Ia mengungkapkan, ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai. Pertama, tentu lebih sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai. Kedua, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.

Di sisi lain, keikutsertaan para jenderal pada pentas politik daerah menunjukkan masih adanya doktrin dwifungsi ABRI, yang dicabut sejak Era Reformasi. Pangi memaparkan, Dwifungsi ABRI menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas, yakni menjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. 

Pangi menambahkan, demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Ia juga menegaskan, tidak memperkarakan purnawirawan atau TNI dan Polri yang sudah pensiun, karena mereka adalah warga negara biasa, dan punya hak memilih dan dipilih.

Namun yang jadi soal adalah, mereka yang berniat maju pada Pilkada Serentak 2018 merupakan anggota TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon. Namun, mereka sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit.

''Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,'' tambah Pangi.

Pangi pun mengingatkan parpol untuk tidak bermain mata dengan prajurit aktif dengan cara menarik atau menggoda TNI masuk ke gelanggang politik. Begitu pula dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, dia menerangkan, sekarang ini lebih penting mengingatkan TNI/Polri dan AS menjaga netralitas. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement