REPUBLIKA.CO.ID, Berlian dimanapun akan tetap menjadi berlian. Sekalipun dikubangan lumpur, berlian tetaplah berlian. Peribahasa itu sepertinya tepat untuk menjelaskan sosok Senita Riskiwahyuni, seorang bidan yang berdedikasi di daerah pelosok Provinsi Riau.
Lebih dari satu dasawarsa perempuan berusia 34 tahun ini mengabdi di Desa Giri Sako Kecamatan Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Desa tersebut berjarak sekitar 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, dan 60 kilometer dari Kota Taluk Kuantan Ibu Kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).
Daerah tersebut merupakan kawasan perkebunan kelapa sawit dengan akses jalan yang sebagian besar berupa jalan pengerasan dan tanah. Kehadirannya membawa perubahan berarti bagi masyarakat di sekitarnya, dan menginspirasi lainnya untuk meningkatkan taraf kehidupan terutama di bidang kesehatan. Ia bagai penjaga gawang yang mencegah terjadinya kematian ibu dan anak pada proses persalinan.
"Semenjak 2007 saya bertugas, tidak ada lagi kematian ibu dan anak saat persalinan di sini," kata Senita.
Perempuan berhijab ini mengawali profesinya sebagai bidan di Desa Giri Sako sebagai pegawai tidak tetap, atau bidan PTT sejak 2007. Baru pada 2017 lalu nasibnya membaik karena tercatat sebagai Calon PNS di Kabupaten Kuansing.
Alumni Universitas Prima Medan Tahun 2016 dan D IV Tuangku Tambusai Bangkinang tahun 2014 ini menjadi motor di desa itu, untuk menggerakan program Posyandu Bina Keluarga Balita (BKB) dan Bina Keluarga Lansia (BKL) setempat. Usahanya yang didukung penuh oleh perangkat desa dan masyarakat sekitar, akhirnya menghasilkan berbagai penghargaan.
Pada 2014 dan 2015 Posyandu BKL Desa Giri Sako meraih juara dua tingkat Provinsi Riau, kemudian menjadi juara pertama tingkat provinsi dan nasional pada 2016. Sementara itu, Posyandu BKB Desa Giri Pusako juga meraih juara tiga tingkat provinsi pada 2017, dan pada tahun yang sama Bidan Senita menjadi juara satu bidan teladan se-Provinsi Riau.
Keberhasilan itu membawanya berhak mengikuti seleksi nasional untuk mendapat pelatihan tentang kesehatan ibu dan anak di Jepang pada 2017. Ia bersama 12 bidan lainnya dari seluruh Indonesia akhirnya terpilih untuk mengikuti pelatihan selama 18 hari pada November 2017, di Kota Tochigi, Jepang.
"Sebelum berangkat ke Jepang, saya ikut seleksi lagi. Alhamdulillah ada 13 orang yang berangkat ke Jepang, termasuk saya sebagai wakil dari Riau," katanya.
Selama pelatihan itu, Senita merasakan bagaimana Indonesia masih sangat tertinggal dalam bidang kesehatan, baik itu dari sisi teknologi hingga sumber daya manusianya. Ia pun bertekad bahwa ilmunya itu harus diamalkannya kepada masyarakat ditempatnya mengabdi.
"Saya rasa undang-undang dan peraturan kesehatan kita dengan Jepang sudah sama. Tapi orang Jepang sangat disiplin dan patuh dengan aturan. Itu yang membuat di Jepang penanganan terhadap kelahiran lebih baik, dan tidak ada kasus kematian ibu saat melahirkan, sedangkan kita masih banyak," ujarnya.
Merintis program posyandu remaja
Sosok Bidan Senita yang kritis melihat lingkungan sekitar juga membuat dirinya tidak cepat puas dan terus berinovasi memperbaiki kesehatan masyarakat. Setelah cukup sukses dengan Posyandu BKB dan BKL, ia merintis program Posyandu Remaja sejak awal 2017.
Program ini bermula dari keprihatinannya melihat adanya pernikahan dini di lingkungan tempat tinggalnya, banyak anak remaja kecanduan rokok dan pergaulan seks bebas. Masih ada sebagian warga di sekitar tempat tinggalnya menikah pada usia 15-16 tahun yang biasanya disebabkan seks bebas dan hamil di luar nikah. Pernikahan dini biasanya tidak langgeng karena kondisi remaja yang emosinya belum dewasa, sehingga berujung pada perceraian.
Pernikahan dini itu berawal dari kurang pemahaman masyarakat setempat terutama generasi mudanya. Karena itu, Posyandu Remaja didesain untuk memberikan informasi, saling asuh dan kontrol sesama remaja, serta menciptakan banyak kegiatan-kegiatan positif untuk remaja.
Merintis Posyandu Remaja juga tidak mudah, namun ia menjalaninya secara perlahan-lahan. Balai Desa Giri Sako yang kerap ramai remaja yang menumpang akses internet gratis, akhirnya menjadi "pintu masuk" untuk membentuk Posyandu Remaja.
Dari awalnya hanya 20 orang yang tertarik ikut Posyandu Remaja, lanjutnya, kini peserta aktif dalam kegiatan itu mencapai sekitar 45 orang. Jumlah itu setengah dari jumlah remaja yang ada di Desa Giri Sako.
"Kalau sampai ada pernikahan dini lagi pada 2018, berarti saya gagal. Itu tantangan buat saya," kata dia.
Berbagai kegiatan positif muncul dari Posyandu Remaja seperti membuat kerajinan setiap hari Jumat malam dan berkebun di belakang balai desa pada hari Minggu. Semua hasil karya mereka kemudian dijual dan bisa bermanfaat untuk anggota.
Setiap anggota secara bergiliran membuat persentasi tentang bahaya pernikahan dini, risiko pernihakan dini terhadap persalinan ibu dan bayi, kampanye bebas rokok hingga melawan narkoba. Selain itu, dua kali dalam sebulan mereka juga melakukan kerja bakti membersihkan fasilitas umum seperti perkantoran desa, balai desa hingga membersihkan masjid.
Senita juga menginspirasi bidan dan warga lainnya. Ia kini kerap berkeliling ke 15 desa untuk membina bidan dan kader kesehatan, meski kegiatan itu bersifat sosial. Pemerintah Kabupaten Kuansing hanya mengalokasikan Rp20 ribu per orang untuk honor kader Posyandu BKB tiap bulan. Sayangnya, honor itu belum juga diterima mereka sejak 2017.
Kepada setiap orang yang ingin jadi kader kesehatan, Senita selalu menegaskan ini kerja sosial dan tidak digaji.
"Kita bekerja dengan BCA atau bank central akhirat," ujarnya.