Selasa 09 Jan 2018 19:33 WIB

Perludem Sebut Regulasi Jenderal Ikut Pilkada Harus Direvisi

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan)
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, regulasi terkait keikutsertaan perwira TNI/Polri untuk mengikuti Pilkada harus diperbaiki. Perludem mengusulkan jeda waktu satu tahun sebelum calon kepala daerah yang berasal dari dua instansi tersebut mendaftarkan diri di Pilkada.

Titi mengatakan berdasarkan pasal 7 huruf T UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 dan PKPU pencalonan kepala daerah Nomor 3 Tahun 2017, menyebutkan bahwa ada tiga dokumen yang harus diserahkan oleh calon kepala daerah dari TNI/Polri saat mendaftarkan diri kepada KPU.

"Jadi persyaratan tersebut (dokumen-dokumen yang harus diserahkan) merupakan bagian dari pemenuhan persyaratan untuk menjadi calon dalam Pilkada. KPU bisa menunggu dokumen pemberhentian personel TNI/POLRI, namun sebagai personel selama mereka masih aktif maka mereka sama sekali tidak bisa melakukan politik praktis," jelasnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/1).

Padahal, dokumen-dokumen yang harus diserahkan memiliki jeda waktu sebelum perwira TNI/Polri benar-benar dinyatakan mundur dari jabatan dan instansinya. "Daripada menciptakan jeda seperti itu dan bisa berpeluang terjadinya pelanggaran, lebih baik regulasi diubah dan mewajibkan personel TNI/POLRI wajib mundur dari jabatannya paling lambat 1 tahun sebelum pendaftaran bakal calon kepala daerah dilakukan," tegasnya.

Dia menambahkan, jeda waktu ini penting mengingat salah satu kunci sukses Pilkada bergantung dari netralitas TNI dan Polri. "Poin menjaga netralitas itu yang penting," tegasnya.

(Baca: KPU: Belum Ada Tambahan Jenderal yang Daftar Pilkada 2018)

Sebelumnya, Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, mengatakan ada tiga surat yang harus disampaikan oleh perwira TNI/Polri saat mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada. Menurut Hasyim, selain bagi TNI/Polri, aturan tersebut juga berlaku bagi anggota DPR, DPRD I, DPRD II, DPD dan PNS yang akan mengikuti Pilkada.

"Ada tiga dokumen yang harus disampaikan kepada KPU. Yang pertama adalah surat pencalonan, di mana di dalamnya ada surat pernyataan kesedian/kesanggupan untuk mengundurkan diri dari jabatannya saat ini," ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (8/1).

Surat pernyataan ini, lanjut dia, disampaikan pada saat pendaftaran. Dengan demikian, jika mereka mendaftar hari ini, maka surat pernyataannya disampaikan kepada KPU daerah setempat.

"Surat pernyataan pengunduran diri ini bukan main, surat pernyataan ini adalah surat yang tidak bisa ditarik kembali. Artinya apabila dari paslon dimana salah satunya anggota TNO/Polri, maka kemudian yang bersangkutan harus membuat surat pernyataan itu dan tidak dapat ditarik kembali, " katanya.

Selanjutnya, setelah paslon Pilkada 2018 ditetapkan, para calon dari kalangan TNI/Polri menyerahkan surat keterangan dari lembaga atau pimpinan yang berwenang untuk memberhentikan yang bersangkutan. Surat keterangan dari pimpinan atau lembaga itu berupa pernyataan bahwa yang bersangkutan benar-benar mengundurkan diri dari jabatan TNI/Polri. Surat ini diserahkan pada H+5 setelah penetapan paslon Pilkada 2018.

"Dokumen yang ketiga berupa SK Pemberhentian paslon yang diterbitkan lembagannya. Jadi tiga dokumen itu yang disampaikan. Pada prinsipnya, orang-orang yang menurut undang-undang dikualifikasikan harus mundur ya harus mundur, tidak dapat ditarik kembali," tegas Hasyim.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement