Selasa 09 Jan 2018 19:48 WIB

Hubungan Wakil dan Konstituen, Direkayasa dan Transaksional

Wakil rakyat di Gedung DPR/MPR (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Wakil rakyat di Gedung DPR/MPR (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Oleh: Nurul S Hamami

Hubungan wakil (anggota legislatif) di tingkat lokal era Reformasi, terutama di Pemilu 2009 dan 2014, adalah hubungan yang direkayasa dan transaksional. Merekayasa kehadiran konstituen dilakukan dengan cara membuat pengaplingan daerah-daerah basis suara wakil di dapil merujuk pada hasil pemilu, menyebut masyarakat di daerah basis sebagai konstituen yang diprioritaskan dalam kunjungan wakil dan perjuangan aspirasi.

Sedangkan, hubungan transaksional tak terhindarkan dalam upaya wakil memperjuangkan kepentingan konstituennya. Demikian kesimpulan yang terekam dari penelitian Sri Budi Eko Wardani dalam desertasinya untuk meraih gelar doktor ilmu politik FISIP Universitas Indonesia. Promosi gelar doktornya dilakukan di FISIP UI, Depok, Selasa (9/1), di depan para penguji yakni Prof Dr Syamsuddin Haris, Prof Dr Maswadi Rauf MA, Dr Valina Singka Subekti M.Si, Meidi Kosandi MA PhD, Dr Nur Iman Subono MHum (promotor), Dr Isbodroini Sujanto MA (ko-promotor), dan Prof Dr Arie Setiabudi Soesilo MSc (ketua sidang).

Prof Arie Setiabudi Soesilo selaku ketua sidang, menyatakan Wardani lulus dengan hasil sangat memuaskan. Menurut Wardani, argumen utama yang dibangun dalam desertasinya adalah telah terjadi perubahan dramatis pascapenerapan sistem pemilu proporsional terbuka pada pemilu-pemilu era Reformasi, terutama di 2009 dan 2014, yang memengaruhi persepsi dan tindakan wakil dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihannya. Perkembangan dalam tataran empirik itulah yang direkam melalui pengalaman enam wakil rakyat di tingkat lokal, yaitu DPRD Provinsi Banten 2014-2019.

Dipilihnya Banten sebagai lokasi penelitian karena memiliki alasan strategis dari beberapa aspek seperti geografis, perpolitikan lokal yang diwarnai kentalnya kekerabatan politik, dan persaingan kekuatan parpol yang berimbang. Disebutkan Wardani, penelitian desertasinya menemukan sejumlah hal dalam hubungan wakik dan konstituen di tingkat lokal.

Pertama, hubungan wakil dan konstituen menemukan pola yang sama yakni keberadaan jaringan pendukung yang membantu wakil mengelola dukungan di dapil. Jaringan pendukung merupakan konstituen pendukung wakil paling kuat bagi wakil, yang juga berperan dalam menghadirkan konstituen, mengelola kunjungan wakil ke dapil, dan penyalur aspirasi konstituen kepada wakil.

Temuan kedua, wakil berupaya mengonkretkan kehadiran konstituen dengan melakukan pengaplingan daerah-daerah basis suara berdasarkan hasil pemilu untuk menentukan prioritas dalam aktivitas dan tindakan mewakili dapil. "Hal ini terjadi disebabkan cairnya ideologi dan ketiadaan afiliasi terhadap parpol sehingga dalam menentukan alokasi sumber daya yang akan didistribusikan kepada konstituen lebih didasarkan pada hasil elektoral yang lebih terukur bagi wakil," jelas pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI ini.

Temuan ketiga, wakil dengan otoritasnya dapat mengalokasikan sumber daya berupa waktu reses, jaringan pendukung, dan materi kepada konstituen pendukungnya. "Wakil bertindak agar dukungan politik konstituennya dapat terpelihara dan diperluas untuk kepentingan pemilu berikutnya," kata Wardani.

"Perekayasaan konstituensi dan transaksional pada akhirnya menjadi ciri hubungan wakil dan konstituen di tingkat lokal era Reformasi. Tindakan dan aktivitas wakil di dapil adalah memastikan terdistribusikannya insentif pada konstituen dan jaringan pendukung," ucap Wardani menyimpulkan penelitian desertasinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement