REPUBLIKA.CO.ID, BETHLEHEM -- Warga Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsian mengungkapkan kekhawatiran mereka atas ancaman AS yang akan mengurangi dana bantuan yang dikelola PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Dilansir Aljazirah, Kamis (11/1), selama hampir 70 tahun, UNRWA telah menjadi jalur kehidupan bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang terdaftar di wilayah-wilayah pendudukan dan negara-negara tetangga. Badan itu menawarkan dukungan dalam penyediaan makanan, akses terhadap pendidikan, perawatan kesehatan, layanan sosial dan pekerjaan.
"Hari ini, lebih dari dua pertiga pengungsi adalah anak-anak yang pergi ke sekolah UNRWA. Jika sekolah ditutup, akan ada masalah besar," ujar Salah Arjameh (44 tahun).
Arjameha dalah salah seorang pengungsi yang tinggal di kamp pengungsi Aida di luar Bethlehem. Ayah empat orang anak ini mengatakan UNRWA adalah institusi yang berfungsi menjaga para pengungsi.
UNRWA juga merupakan saksi utama peristiwa Nakba. Ia berharap UNRWA tetap hadir sampai masalah pengungsi diselesaikan dengan adil dan para pengungsi kembali ke desa asal mereka.
Menurutnya, jika UNRWA menghentikan operasinya, maka akan ada revolusi nyata melawan Otoritas Palestina. Ini dikarenakan selama 25 tahun terakhir, UNRWA telah menurunkan layanannya.
"Saya memprediksi juga akan ada gerakan terorganisir melawan pendudukan Israel," ujar pria yang bertahun-tahun tinggal di kamp pengungsian ini.
Ia menambahkan isu pengungsi adalah permasalahan sensitif sehingga tidak dapat diatasi dengan mengakhiri layanan UNRWA. "Jika layanan berhenti, akan ada revolusi. Pemberontakan Palestina dimulai di kamp-kamp pengungsi di Yordania dan Suriah, dan ini akan terjadi lagi," katanya.
Pengungsi Aida dan Dheisheh di kota Bethlehem yang diduduki di Tepi Barat berasal dari desa-desa Palestina yang telah dibersihkan secara etnis selama pendirian Israel pada 1948, yang dikenal oleh orang Palestina sebagai peristiwa Nakba.
Yazan Muhammad Sabri (18), pengungsi yamg tinggal di Dheisheh juga mengatakan jika bantuan kepada UNRWA dihilangkan, maka tdak akan ada pendidikan, perawatan kesehatan serta sanitasi. "Semuanya akan hilang," ujar siswa SMA ini.
Hal serupa disampaikan Shukri Ali al-Laham (24). Ia mengatakan harus ada perlawanan terhadap keputusan ini. Menurutnya, mayoritas pengungsi tidak memiliki uang sehingga layanan UNRWA begitu penting karena banyak orang yang membutuhkannya.
"Tidak ada pekerjaan. Ada pengangguran dan kemiskinan," katanya.
AS adalah penyumbang terbesar untuk UNRWA. Pada 2016, AS menyumbangkan lebih dari 364 juta dolar AS ke badan tersebut. AS juga menyediakan dana bagi Otoritas Palestina sekitar 400 juta dolar AS per tahun.
Namun, pada 3 Januari, kurang dari sebulan setelah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump mengancam akan memotong bantuan kepada orang-orang Palestina. Walaupun pemotongan bantuan ini belum diimplementasikan, namun ucapan Trump menimbulkan kekhawatiran bagi nasib jutaan pengungsi Palestina.
Juru bicara UNRWA Chris Gunness mengatakan UNRWA diberi tahu saat ini belum ada keputusan yang diambil. "Saya yakin ketidakpastian ini kemungkinan akan berlanjut selama beberapa pekan lagi," tambah Gunness.