REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 53/PUU-XV/2017, terdapat dua orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda. Perbedaan pendapat ada pada putusan terkait Pasal 222 Undang-Undang (UU) No. 7/2017 soal presidential treshold (PT) sebesar 20 persen. Mereka menilai putusan itu sulit diterima dengan nalar yang wajar.
"Dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD RI 1945," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/1).
Ada dua masalah konstitusional mendasar yang dijadikan yang Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra sebutkan dalam dissenting opinion-nya. Dua masalah itu merujuk pada perkembangan perdebatan yang terjadi sejak perubahan cara pemilihan umum (pemilu).
"Pertama, pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) lakukan secara terpisah dengan pemilu legislatif (pileg)," terangnya.
Soal kedua, yaitu munculnya desain ambang batas untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bagi partai politik peserta pemilu dengan persentase tertentu berdasarkan hasil pemilu anggota DPR. Jika masalah konstitusional pertama berhasil dikembalikan kepada semangat Konstitusi terutama Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, masalah konstitusional kedua justru masih jauh dari roh Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Bahkan, apabila disimak Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, masalah itu dibiarkan terjebak dalam wilayah abu-abu. Suhartoyo juga menilai, MK seharusnya lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu dibanding dengan pemenuhan atas penilaian, desain konstitusi yang menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.
Secara tekstual, katanya, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Itu berbeda dengan hak konstitusional partai politik peserta pemilu.
"Pandangan terkait desain penyederhanaan partai politik tidak diatur dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir," jelas dia.
Ia menuturkan, dengan mendalami teori konstitusi, dalam hal teks, konstitusi mengatur secara eksplisit tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi. Dalam hal itu, sebagai lembaga yang roh pembentukannya adalah menjaga dan sekaligus melindungi hak konstitusional warga negara.
Termasuk di dalamnya hak konstitusional partai politik peserta pemilu. Apabila pembentuk UU membelokkan atau menggeser teks konstitusi, itu menjadi kewenangan konstitusional MK untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagai mana mestinya.
Dengan demikian, ujarnya, sulit diterima penalaran yang wajar apabila MK lebih memilih memberikan prioritas dan mendahulukan tafsir desai penyederhanaan partai politik. Tafsir yang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945.
"Dibandingkan dengan pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang diatur eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," ujarnya.