REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai salah satu penggugat UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Effendi Gazali merasa bahagia meski gugatannya itu ditolak. Itu terjadi lantaran Effendi mendengar alasan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dua hakim konstitusi.
(Baca: PAN Setuju Usulan Yusril Soal Putusan MK)
"Saya bahagia. Terutama karena mendengar dua dissenting tadi. Mereka berdua tidak menemukan nalar dari penolakan ini," tutur Effendi usai persidangan di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/1).
Ia menilai dissenting opinion yang disebutkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra itu menarik. Itu karena pembahasan yang MK lakukan lebih banyak terhadap apa yang diajukan oleh Partai Idaman, selaku pihak yang mengajukan perkara terlebih dahulu.
Dengan begitu, kata Effendi, apa yang MK bahas sama sekali tidak menyinggung permohonannya. Dalam permohonannya, ia menanyakan kepada para hakim konstitusi terkait penggunaan suaranya pada saat Pemilu Legislatif 2014.
"Waktu saya memilih pada pemilu legislatif 2014 kan saya tidak dikasih tahu, suara saya akan dipakai jadi presidential threshold (PT) 2019," sebut dia.
Ia pun bertanya, negara mana yang MK-nya boleh menyalahgunakan suara warganya. Di saat memilih tak diberi tahu suaranya digunakan untuk apa, suara warga bisa saja dipergunakan untuk hal-hal lain.
"Bagi kami ini batu ujian yang masih bisa di sampaikan tadi, hak pemilih yang dulu tidak dikasih tahu untuk dipakai presdiential threshold melanggar atau tidak," tuturnya.
Menurut Effendi lagi, banyak pertimbangan hakim yang lucu terkait putusan itu. Terutama setelah adanya pilkada dan penutupan pendaftaran. Setelah adanya PT, hakim menilai akan tercipta penyederhanaan partai politik berdasarkan persamaan platform.
"Coba lihat pilkada, mana ada persamaan platform.Kalau kami, mungkin akan memasukan lagi setelah Pak Jokowi terpilih lagi kali ya. (Melihat) bagaimana konstelasi hakim MK," terangnya.
Dengan ditolaknya uji materi terhadap pasal yang mengatur PT 20 persen itu, Effendi menuturkan, masyarakat arus siap akan menghadapi calon presiden tunggal. Menurutnya, itu bisa saja terjadi apabila kolaisi antarpartai tak mencapai titik temu.
"Itu tadi disebutkan dengan sangat bagus oleh Saldi Isra, yang seperti ini bisa muncul dictatorship. Saya bahagia ada dua yang betul-betul jernih, menemukan nalar yang jernih," tambahnya.