REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pedagang Muslim dari Arab dan Persia menempuh perjalanan panjang lewat jalan darat Jalur Sutra dan jalur laut yang sama-sama berbahaya demi mencari peruntungan perdagangan. Merekalah yang mendirikan permukiman Muslim di Cina, terutama di Chang'an (Xian) di Provinsi Shaanxi, ujung timur Jalur Sutra, dan berbagai pelabuhan dagang, seperti Guang zhou (Kanton) dan Quanshou (al-Zaytun).
Ketika terjadi pemberontakan An Lu-Shan yang mengguncang kekuasaan Dinasti Tang, Kaisar Su T'sung meminta bantuan kepada Kalifah Abu Jafar al-Manshur di Baghdad pada 755 M. Pemimpin Dinasti Abbasiyah itu kemudian mengirim 4.000 tentara untuk memadamkan pemberontakan dan berhasil merebut Kota Chang'an, Ibu Kota bagi lebih dari sepuluh dinasti Cina.
Para tentara Abbasiyah yang telah membantu kekaisaran Cina itu akhirnya banyak yang menetap dan akhirnya kawin mawin dengan perempuan Cina. Keturunan mereka berintegrasi dalam masyarakat Cina yang didominasi suku Han. Muslim Cina dikenal dengan sebutan Hui Hui.
Integrasi Muslim dalam peradaban Cina membuat mereka juga terlibat dalam pengembangan budaya Cina yang sudah terkenal sedunia, bela diri kung fu. Pada masa itu, seorang pemimpin Muslim Cina wajib menguasai kung fu. Mereka yang masih kuat akan terus berlatih untuk mencapai kesempurnaan fisik dan spiritual. Para pemimpin Muslim Cina menyebarkan pengetahuan dan seni bela diri yang mereka miliki hanya kepada beberapa murid yang berdedikasi.
Dalam perjalanannya selama 1.400 tahun, perkembangan Islam di Cina lekat dengan nasihat Nabi Muhammad SAW bahwa orang yang kuat bukanlah yang mampu melempar yang lain dan menang dalam gulat. Tapi, Muslim yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah. Hikmah ini terus menerus didengungkan oleh para pemimpin Muslim Cina berkaitan dengan cara mengelola chi (energi dalam) yang bisa digunakan untuk menjinakkan binatang dan menguasai kung fu lebih lanjut.
Para pemimpin Muslim sukses mengharmonisasikan bentuk internal dan eksternal kung fu. Hal ini meng ingatkan pada ajaran Islam yang tertuang dalam kata ijtihad yang berarti usaha. Hasilnya bisa dilihat pada ke efektifan seni bela diri yang dihasil kan, yang didasarkan keimanan pada agama (Islam), kesopanan, prasangka baik, dan bebas kebencian. Hal ini ditunjukkan pada kalimat jiao men yang berarti sekte bela diri untuk mendefinisikan nilai khas mereka dibanding bela diri yang lain.
Kalimat itu berasal dari tetua Hui yang menyebut bela diri sebagai “kegiatan suci” yang merujuk pada upaya mereka dalam mempertahankan diri menghadapi keadaan gawat. Selain itu, bela diri juga digunakan sebagai alat untuk mendidik stamina generasi muda, biasa diajarkan di sekitar halaman masjid.
Perkembangan kung fu Muslim memiliki sejarah yang panjang. Beberapa jurus berakar dari masa pra Islam, yaitu kekuasaan Dinasti Qing (abad ke 4-5 M). Orang Hui mulai mengadaptasi beberapa jurus wushu, seperti Ba Ji Quan, Pi Gua Zhang, dan Liu He Quan Ada wilayah khusus pusat perkembangan kung fu Muslim, seperti Changzan di Provinsi Hebei. Seni bela diri ini mudah diterima Muslim Cina berbahasa Turki yang melatih gaya ini di Provinsi Xin Jiang.
Seni bela diri Muslim Cina sangat mudah diadaptasikan dan menyebar bersamaan dengan gaya tinju Muslim, sama halnya dengan jurus kung fu Muslim yang sangat terkenal, seperti Pu Yi dan Ba Ji Quan. Teknik paduan tinju dan kung fu ini berhasil memenangkan berbagai kompetisi kung fu dan diterima dengan baik oleh biksu Shaolin maupun mazhab Quanshu.
Saking terkenalnya, para pendekar kung fu Muslim ini menjadi tulang punggung penjagaan kaisar Cina. Umumnya mereka adalah murid Li Shu Wen. Misalnya, Huo Diange yang merupakan bodyguard Pu Yi, kaisar terakhir Cina, Li Chen Wu menjadi bodyguard pemimpin komunis Mao Zedong, dan Liu Yunqiao yang menjadi agen rahasia Kuomintang dan pelatih bodyguard Chiang Kai Shek. Akhirnya, Ba Ji Quan dikenal sebagai gaya bodyguard yang masih dipakai sebagai jurus andalan pengawal presiden Cina.