REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM -- Organisasi PembebasanPalestina (PLO) kini tengah melakukan upaya untuk mencari kemungkinan membatalkan pengakuannya dalam perundingan damai dengan Israel yang didukung Amerika Serikat (AS) pada 9 September 1993. Dalam kesepakatan tersebut PLO mengakui hak kehadiran negara Israel dalam kedamaian dan keamanan.
Itu adalah hari bersejarah bagi Timur Tengah. Setelah lebih dari dua dekade kesepakatan tersebut berlangsung, Palestina ingin berubah pikiran dan mencabut kembali pengakuan itu. Seorang pengacara terkemuka di komite eksekutif PLO Hanan Ashrawi mengatakan pihaknya sedang mempelajari apakah pembatalan itu bisa dilakukan.
Otoritas Palestina memerintah Tepi Barat dan merupakan perwakilan Palestina yang diakui secara internasional. Namun PLO tetap merupakan faksi politik paling kuat, dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas memimpin komite eksekutifnya.
"Pemimpin PLO dijadwalkan untuk mengadakan pertemuan awal pekan depan, untuk membahas beberapa rekomendasi agar Israel bertanggung jawab terhadap realisasi hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina," sebuah pernyataan dari komite eksekutifmengatakan.
"Ada banyak ide yang beredardan proposal dan pertanyaan," kata Ashrawi. "Dalam setiap kasus kita harus melihat legalitas dan semua konsekuensi dan bagaimana mempersiapkannya.
Demi solusi dua negara, tutur Ashrawi, pihaknya dapat menuntut pengakuan Israel atas negara Palestina dan menuntut agar Israel menentukan perbatasannya, di mana menurutnya Israel adalah satu-satunya negara tanpa batas (yang jelas).
"Kami bekerja tanpa henti pada pertanyaan ini. Rakyat Palestina sangat kecewa. Mereka merasa dikhianati danmerasa bahwa AS telah memihak dan menumbangkan prospek perdamaian dan bahwaIsrael telah menjadi sangat berani dan meningkat secara historis. Kami beradadi persimpangan yang sangat berbahaya," katanya.
Masalah pelik ini bermula saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS)akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan akan segera memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke kota suci tersebut pada bulan lalu. Padahal Yerusalem merupakan kunci dari konflik kedua pihak selama ini.
Pengumuman itu membalikkan kebijakanAS selama beberapa dekade ini dan mengurangi prospek solusi dua negara, yaitu konsensus internasional mengenai kesepakatan damai apapun yang mencakup pengakuan negara Palestina yang merdeka di samping Israel. Meskipun para pemimpin Palestina tidak pernah menerima klaim pemerintahan Israel atas seluruh wilayah Yerusalem, dengan rakyat Palestina menginginkan Yerusalem Timur menjadi ibu kota negaranya kelak.
"Keputusan Trump tersebut menyingkirkanYerusalem dari perundingan, dan Otoritas Palestina akan menolak setiap dan semua proposal untuk perundingan damai dengan Israel sampai keputusan AS mengenai Yerusalem dibatalkan. Kedamaian itu tidak akan ada harganya," kata kepala negosiator Palestina Saeb Erekat saat wawancara dengan radio Voice of Palestina.