REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Penasihat negara sekaligus aktivis pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan pasukan militer bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam pembunuhan 10 warga Rohingya. Tindakan itu dikatakan telah terbukti sepenuhnya dan harus diselesaikan segera sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam sebuah konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono, Suu Kyi mengakui kesalahan yang dilakukan oleh militer negaranya, atau dikenal sebagai Tatmadwa. Suu Kyi mengatakan hal ini akan diselidiki lebih lanjut dan tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikannya diperlukan.
"Kami adalah negara yang perlu bertanggung jawab atas supremasi hukum dan kali ini sebuah langkah baru perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi," ujar Suu Kyi dilansir BBC, Jumat (12/1).
Sebelumnya, kantor panglima militer Myanmar mengakui pasukan keamanannya telah membantai 10 warga Rohingya. Kejadian itu berlangsung pada September 2017, di mana Rakhine, negara bagian Myanmar dilanda krisis kemanusiaan yang mengakibatkan eksodus ratusan ribu orang ke Bangladesh.
Suu Kyi selama ini sangat jarang berbicara mengenai permasalah terkait warga Rohingya di Myanmar kepada publik. Peraih nobel perdamaian itu telah dikecam atas sikapnya yang dinilai tidak membantu memulihkan konflik yang terjadi di Rakhine. Ia hanya membantah bahwa Pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya, serta bentuk pelanggaran hukum lainnya, termasuk tindakan sewenang-wenang apapun.
Konflik yang terjadi di Rakhine pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Saat itu, terjadi sebuah operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar di sejumlah desa yang ditempati oleh warga Rohingya di Rakhine.
Tindakan itu membuat lebih dari 120 ribu warga Rohinghya harus mengungsi di sejumlah kamp di Rakhine. Hingga kemudian kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu masyarakat etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar.
Kemudian pada Agustus 2017, situasi di Rakhine kembali memburuk dengan adanya serangan 30 pos keamanan polisi di area perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Pasukan militer Myanmar saat itu mengatakan ada ratusan orang yang diyakini kelompok militan asal Rohingya membawa senjata dan menggunakan bahan peledak untuk menyerang. Pertempuran dengan penyerang kemudian terus berlanjut.
Tak hanya itu, tentara Myanmar kemudian juga melakukan operasi keamanan di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine. Situasi di wilayah negara bagian itu semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Diperkirakan lebih dari 480 ribu orang yang melarikan diri dari Rakhine dan saat ini menjadi pengungsi di Bangladesh.