REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Santi Sopia, Fauziah Mursid
Nyanyian La Nyalla Mattalitti soal uang mahar politik yang diminta Prabowo Subianto makin memanaskan situasi politik jelang pilkada serentak 2018. Karena memang, ongkos politik terbilang sangat mahal dan tidak rasional.
Pada acara dengan para kepala daerah, Mendagri Tjahyo Kumolo pernah mengungkapkan untuk mengikuti pemilihan bupati/wali kota dibutuhkan sedikitnya dana Rp 20 miliar. Itu jumlah minimal. Ada yang sampai Rp 100 miliar.
Mendagri memberi contoh satu rekannya waktu di DPR yang harus merogoh kocek hingga Rp 40-an miliar untuk ikut pilbub. Jadi, untuk bisa mengikuti pilkada di tingkat kabupaten/kota rata-rata para pasangan kandidat membutuhkan ongkos politik antara Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
Ongkos politik untuk pilgub tentu bisa lebih besar lagi. Pada pilgub DKI Jakarta yang menyita perhatian luas setahun lalu, masing-masing calon menghabiskan dana hingga puluhan miliar dan ratusan miliar rupiah.
Dilansir dari laman resmi KPU Jakarta, berdasarkan hasil audit oleh auditor hasil seleksi, dana kampanye paslon nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, tercatat Rp 68,967 miliar. Dana yang terpakai Rp 68,953 miliar.
Dana kampanye paslon nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Rp 60,190 miliar. Dana yang terpakai Rp 53,696 miliar. Hasil audit untuk paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno, Rp 65,272 miliar dan dana yang terpakai 64,719 miliar.
Pada putaran kedua, Ahok-Djarot memiliki dana Rp 32,4 miliar dengan pengeluaran Rp 31,75 miliar. Anies-Sandi pada putaran kedua menghabiskan dana kampanye Rp 17,6 miliar. "Biaya politik memang tinggi. Kami iuaran. Tidak ada mahar yang diminta," kata Anies, Jumat (12/1).
Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria juga menyebut ongkos politik itu tidak murah. Tapi ia menegaskan tidak ada mahar seperti yang dituduhkan La Nyalla Mattalitti kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Ia bercerita saat Ahok masih menjadi kader Gerindra dan dipasangkan dengan Jokowi sebagai cagub/cawagub DKI menghabiskan uang yang banyak. Adik Prabowo, Hashim Djodjohadikusumo, menyuntik dana kampanye Jokowi-Ahok dengan jumlah sekitar Rp 62 miliar.
Isu ongkos politik ini kembali mencuat setelah La Nyalla 'bernyanyi' bahwa dirinya diminta mahar politik oleh Prabowo dalam pencaloannya sebagai cagub Jawa Timur. Prabowo, kata La Nyalla, meminta uang untuk saksi pilgub Rp 40 miliar.
Awalnya, La Nyalla menyebut ia diminta uang ratusan miliar rupiah yang dikiranya becanda. Ternyata, itu serius. Mantan ketua umum PSSI ini tak memenuhi permintaan itu yang kemudian pencalonannya sebagai cagub Jatim pun dibatalkan.
Permintaan uang itu, menurut La Nyalla, disampaikan Prabowo pada Sabtu (10/12) di Hambalang, Bogor, saat Gerindra mengumumkan Sudrajat sebagai cagub pada pilgub Jabar. Uang itu harus diserahkan paling telat tanggal 20 Desember 2018. "Kalau tidak saya tidak akan mendapat rekomendasi," kata La Nyalla, Kamis (11/1).
La Nyalla mendapat mandat sebagai cagub Jatim pada 11 Desember di mana surat itu berlaku 10 hari. Dalam perjalannya, La Nyalla gagal mendapat partai koalisi dan cawagub pendampingnya. Sempat muncul wacana menyandingkannya dengan Anang Hermansyah, namun akhirnya kandas di tengah jalan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan La Nyalla. Ia tidak pernah mendengar maupun menemukan bukti bahwa La Nyalla dimintai uang sebesar Rp 40 miliar oleh Prabowo.
"Misalnya itu terkait kesiapannya untuk menyediakan dana pemilu, yang itu digunakan untuk dirinya sendiri, saya kira itu sangat mungkin," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/1).
Sementara, Riza Patria menilai permasalahan La Nyalla ini tidak perlu dibesarkan mengingat ia adalah kader yang berjasa kepada Gerindra. "La Nyalla itu orang yang baik. Saya kenal betul, saya termasuk kader Gerindra yang mendukung beliau di Pilgub Jatim," kata Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat (12/1).
Karena itu, Riza mengatakan, partainya kemungkinan tidak akan melakukan upaya hukum atas pernyataan tersebut. Terkait langkah hukum, Gerindra akan melakukan silaturahim, mediasi, melakukan cara-cara untuk menyelesaikan masalah mufakat.
Biaya politik tidak rasional
Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk membenarkan maraknya praktik korupsi di Indonesia karena biaya politik yang sangat tinggi dan tidak rasional. Akibatnya, demi memenuhi biaya politik, banyak kepala daerah dan anggota legislatif yang tergiur melakukan korupsi.
"Biaya kampanye caleg (calon anggota legislatif) dan calon kepala daerah sampai ratusan miliar rupiah. Biaya ini sangat tinggi dan tidak rasional," kata Hamdi Muluk.
Menurut Hamdi Muluk, biaya kampanye yang sangat tinggi tersebut tidak rasional, karena gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta, sedangkan gaji anggota DPR RI hanya sekitar Rp 50 juta. Dengan biaya kampanye yang mencapai ratusan miliar, menurut dia, maka dari gaji yang diterimanya dikumpulkan selama lima tahun, belum menutupi biaya kampanye.
"Dengan biaya kampanye yang sangat tinggi, maka banyak juga caleg dan calon kepala daerah yang mencari sponsor untuk membiayai kampanyenya," katanya.
Hamdi menjelaskan, kalau ada spnsor maka kepala daerah dan anggota legislatif yang terpilih akan membela sponsor dan berusaha mengembalikan biaya sponsor. Kondisi seperti ini, katanya, yang sering menjebak kepala daerah dan anggota legislatif kepada praktik korupsi.
Hamdi Muluk mengusulkan, agar rakyat mengawasi kinerja pejabat publik, terutama kepala daerah dan anggota legislatif. Menurut dia, jika tidak ada pengawasan dari publik maka akan marak praktik korupsi.
Baca Juga: Kalla La Nyalla 'Bongkar Mahar' Prabowo