Senin 15 Jan 2018 12:30 WIB

Eksploitasi Ekonomi Awal Kejahatan Terhadap Anak Jalanan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Winda Destiana Putri
Anak Jalanan
Foto: sentanaonline.com
Anak Jalanan

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali bersinergi dengan berbagai unsur untuk meminimalisir kejahatan seksual terhadap anak-anak jalanan. Komisioner KPPAD Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini mengatakan sinergi ini terutama melibatkan pemerintah dan desa adat.

Yastini mengatakan beberapa upaya yang telah dilakukan untuk memaksimalkan upaya perlindungan anak dari kejahatan seksual adalah Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak, Surat Edaran Gubernur Bali tentang Pengawasan Intensif Aktivitas Anak Jalanan dan Anak di Jalanan, serta keterlibatan masyarakat adat melalui kearifan lokal. Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali ini mengatakan anak jalanan sangat rentan terimbas kejahatan seksual oleh orang lain di jalanan, maupun sesama anak jalanan.
 
"Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan seksual," kata Yastini kepada Republika, Senin (15/1).
 
Yastini mencontohkan kasus Robert Andrew Fiddes Ellis (70 tahun) yang divonis 15 tahun penjara karena melakukan perbuatan cabul kepada 11 anak di bawah umur. Perbuatan tersebut dilakukan berulang antara 2012 hingga 2015 di Denpasar, Tabanan, dan Kuta. Kasus Robert dinobatkan sebagai kasus pedofilia terbesar di Bali.
 
Robert memanfaatkan status ekonomi anak-anak kurang mampu. Kakek asal Australia ini menyasar anak-anak jalanan dengan cara membujuk, memberi hadiah berupa barang dan uang, dan melancarkan aksinya.
 
"Korban Robert itu rata-rata anak-anak pedagang asongan di jalan. Kejahatan terhadap anak-anak jalanan atau anak-anak di jalan ini biasanya memang bermula dari eksploitasi ekonomi," kata Yastini.
 
KPPAD Bali tahun ini masih belum menerima laporan anak-anak jalanan yang menjadi korban kekerasan seksual. Meski demikian, Yastini menggarisbawahi hal ini belum bisa dikatakan tidak ada kasus, sebab kasus-kasus seperti ini biasanya muncul setelah beberapa waktu.
 
Pesamuhan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) VI 2017 telah menyepakati desa adat (pekraman) di Bali akan mengambil langkah untuk upaya perlindungan anak. Perlindungan diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, anak korban eksploitasi ekonomi, serta membahas pendidikan anak, dan usia perkawinan anak.
 
Ketua MUDP Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha sebelumnya mengatakan perlindungan anak menjadi tantangan dalam persoalan pawongan atau manusia dengan manusia. MUDP pun membentuk Komisi Perlindungan Anak di dalam Desa Pekraman.
 
"Ini menyangkut generasi ke depan dan banyak lagi masalah anak," katanya.
 
Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) berbasis di Belanda, Terre des Hommes dalam lamannya menyebutkan sekitar 40 ribu hingga 70 ribu anak di Indonesia merupakan korban eksploitasi seksual. Sekitar 30 persen pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun.
 
Banyak anak menjadi korban pelecehan seksual - termasuk lewat media daring (online) - serta korban di kantong-kantong pariwisata. Lembaga ini menyoroti Indonesia sebagai destinasi wisata seks anak, terutama di daerah-daerah pariwisata utama di seluruh negeri.
 
Terre des Hommes fokus pada program-program kerja yang melawan eksploitasi seksuai terhadap anak-anak jalanan, anak-anak di daerah pariwisata, dan eksploitasi seksual anak lewat daring. Lembaga ini pada 2016 bekerja sama dengan Plan Netherlands, Defence for Children - ECPAT, Free a Girl, dan ICCO Cooperation meluncurkan program 'Down to Zero' untuk mengakhiri eksploitasi seksual anak di 11 negara, termasuk Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement