REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Partai Golkar resmi mengumumkan penetapan Bambang Soesatyo sebagai Ketua DPR. Dia akan menggantikan Setya Novanto yang telah mengudurkan diri karena terjerat kasus korupsi KTP Elektronik.
Namun, pemilihan Bambang Seosatyo (Bamsoet) sebagai pengganti Setya Novanto mendapat sejumlah kecaman. Bamsoet diangga bermasalah dengan lembaga hukum khususnya komisi pemberantasan korupsi (KPK) terkait dengan kasus serupa dengan Setya Novanto (Setnov).
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw, keinginan Partai Golkar melalui ketua umum yang baru Airlangga Hartarto untuk memilih Bamsoet duduk di kursi Ketua DPR tidak tepat. Sebab, lembaga DPR seharusnya bisa dipimpin oleh orang yang memiliki rekam jejak baik dan jauh dari kasus korupsi.
Sedangkan, Bamsoet saat ini tengah menjadi incaran KPK dengan surat yang dilayangkan kepadanya. "Ini bisa jadi ada pertikaian DPR dan KPK untuk jilid ke sekian, walaupun orangnya berbeda," ujar Jerry dalam sebuah diskusi, Senin (15/1).
Jerry menuturkan, Bamsoet saat ini sudah dipanggil KPK dalam kasus KTP Elektronik. Namun, hingga saat ini yang bersangkutan masih mengelak dan tidak memenuhi panggilan tersebut. Bisa jadi ketika Bamsoet telah resmi duduk sebagai ketua DPR, KPK akan memanggil paksa layaknya Ketua DPR terdahulu. Persoalan ini kemudian kembali akan membuat kegaduhan di Tanah Air.
"Nanti KPK paksa panggil pasti ramai lagi. Kita gaduh hanya mengurusi hal ini," ujarnya.
Airlangga seharusnya paham mengenai persoalan tersebut. Dia yang beritikad menjadikan Golkar kembali sebagai partai yang disegani dan menjauhi kata korupsi untuk semua kader, harus bisa mencari sosok tepat untuk didudukan di kursi Ketua DPR.
Jika kader bermasalah yang kembali ditempatkan di kursi tersebut, maka Golkar akan dicap sebagai partai yang inkonsisten. Dari awalnya memiliki niat untuk bersih-bersih, tapi pemilihan nama justru seakan melenggangkan kekotoran di tubuh Partai Beringin tersebut. Golkar bisa disebut akan menggali liang kuburnya sendiri ketika salah menempatkan orang.
Keinginan untuk menjadikan Golkar sebagai partai besar pada Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 juga bisa tak terwujud bilamana Golkar masih tidak kompak di internal partai. Partai ini harus bisa memainkan peran dengan pemilihan orang yang tepat walaupun harus menunggu waktu.