Selasa 16 Jan 2018 12:05 WIB

Tragedi Asmat dan Disparitas Layanan Kesehatan

Rep: antara/fergi nadira/rr laeny sulistyawati/ Red: Fitriyan Zamzami
Ilustrasi pengidap gizi buruk
Foto: Antara/Novrian Arbi
Ilustrasi pengidap gizi buruk

REPUBLIKA.CO.ID, Tragedi kesehatan kembali terjadi di Tanah Papua. Puluhan anak-anak di Kabupaten Asmat dilaporkan meninggal akibat mewabahnya penyakit campak belakangan. 

Uskup Keuskupan Agats, ibu kota Kabupaten Asmat Mgr Aloysius Murwito mengungkapkan, Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat mendata, dari 23 distrik di Asmat, sebanyak 471 anak positif terkena campak. Sedangkan anak yang meninggal karena campak sejak beberapa bulan belakangan mencapai 59 orang.

Aloysius Murwito menuturkan, kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Asmat, memang masih rendah kualitasnya, khususnya terkait dedikasi petugas di lapangan. "Dalam kunjungan saya ke sejumlah kampung sering dijumpai petugas puskesmas pembantu tidak di tempat. Sementara hubungan antara kampung dan puskesmas jauh dan hanya bisa ditempuh dengan transportasi air," kata Aloysius kepada Antara, Selasa (16/1).

Dikisahkan Aloysius, tak ada jalan darat di Asmat. Ia mengatakan, kebijakan yang bagus dari pimpinan daerah sering kurang maksimal dilaksanakan di kampung karena dedikasi petugas dan juga alat komunikasi yang amat minim. "Belum ada jaringan komunikasi antarkampung dan pusat kampung kecuali dua pusat distrik," ujarnya.

Menurutnya, makanan bergizi juga kurang serta sayuran terbatas. "Tidak setiap hari dapat ikan. Di daerah Asmat ini saya kira sekitar 40 persen kondisi kesehatannya masih di bawah standar normal," ujarnya. Sehubungan gizi kurang tersebut, air susu ibu menjadi menurun kualitasnya dan imuitas anak-anak melemah. Dia mengatakan, program imunisasi belum menjangkau setiap anak di kampung.

Persoalan kesehatan ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Papua. Akhir tahun lalu, tepatnya sepanjang Oktober, sebanyak 11 warga Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, Papua. Mereka dilaporkan meninggal setelah mengalami gejala rambut rontok, badan bengkak, dan kulit terkelupas.

Pendeta setempat, Pastor John Jonga Pr mengatakan, jumlah itu menggenapi korban meninggal sejak Mei 2017 mencapai sekitar 50 orang. Kader kesehatan gereja yang sempat dikirmkan tak mampu menyelamatkan nyawa warga setempat karena kesulitan melakukan diagnosis.

Fasilitas minim

Apa pasal Tanah Papua demikian rentan terhadap tragedi kesehatan? Seperti penuturan Uskup Aloysius, di atas kertas juga mudah terbaca soal minimnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di daerah tersebut.

Menurut pendataan Kemenkes terkini, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di Papua sebanyak 589 unit. Jumlah itu bukan yang paling sedikit di Indonesia. Dalam rerata jumlah fasyankes per provinsi, jumlah itu berada di tengah-tengah. 

Meski begitu, harus dicatat juga bahwa Papua adalah provinsi dengan wilayah seluas 319 ribu kilometer per segi. Angka itu menempatkannya sebagai provinsi paling luas di Indonesia. Dilihat dari konteks ini, jumlah fasyankes tersebut jauh dari ideal secara jangkauan maupun kebutuhan masyarakat. Bandingkan dengan DKI Jakarta, misalnya yang dengan keluasan 664 kilometer per segi memiliki 2.763 fasyankes. 

Rasio perbandingan dengan keluasan wilayah ini kiranya lebih relevan di Papua tinimbang rasio per kepala mengingat sukarnya menjangkau wilayah-wilayah tertentu di Papua.

Perbandingan lebih adil juga bisa ditarik dengan sejumlah daerah-daerah yang kerap disandingkan dengan Papua perihal kesejahteraan masyarakat. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, untuk wilayah seluas 48,7 ribu kilometer per segi, ada 495 fasyankes. Sedangkan di Maluku Utara, meski fasyankes hanya sebanyak 193, luas wilayahnya juga hanya 32 ribu kilometer per segi.

Perbandingan ini juga berlaku untuk jumlah tenaga medis. Di Jawa Barat, misalnya, untuk wilayah seluas 35,3 ribu kilometer persegi ada sebanyak 119 ribu tenaga medis. Sementara dengan luas sebegitu akbar, Papua hanya memiliki 17 ribu tenaga medis. Jumlah itu kalah dari jumlah tenaga medis di NTT yang mencapai 22 ribu personel.

Pemerintah tak memungkiri disparitas yang menganga ini. Tahun lalu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, untuk menempatkan dokter di daerah atau tempat terpencil ada banyak faktor yang harus dipikirkan. Apalagi, di era sekarang pemerintah sudah tidak menetapkan aturan mengenai penugasan dokter di daerah-daerah. 

"Kalau dulu era Orde Baru Soeharto ada instruksi presiden (inpres) sejak 1973. Yaitu setiap lulusan dokter harus ke daerah, tetapi begitu Reformasi 1998 dihapus. Kita sedikit kesulitan," ujar Menkes. Memberlakukan kembali Inpres tersebut juga bukan menjadi solusi. Sebab pemerintah perlu memikirkan soal anggaran. "Karena kan harus membayar honor, tempat tinggal, hingga transportasi," katanya. 

Ironisnya, menurut Menkes, jumlah lulusan dokter di Indonesia tak sedikit. Sebanyak 64 fakultas kedokteran (FK) di universitas-universitas di Indonesia, total lulusan berkisar antara 10-12 ribu per tahun.

"Jadi, yang paling ideal untuk pemerataan yaitu tim Nusantara Sehat, wajib kerja dokter spesialis (WKDS), dan penugasan khusus," ujarnya. Ia juga mengusulkan supaya penempatan tenaga dokter merata di seluruh wilayah Indonesia, penugasan dokter di kota bisa dihentikan atau ditutup menggunakan kuota. 

Reaksi pusat

Terkait wabah campak belakangan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua telah mengirim 800 viral vaksin ke Kabupaten Asmat. Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Dinkes Papua dr Aaron Rumainum di Jayapura, mengatakan permintaan vaksin dari Dinkes Asmat ke Dinkes Provinsi Papua juga sudah tiba di Agats pada 11 Januari 2018.

Permintan vaksin lanjutan dari Dinkes Asmat ke Dinkes Provinsi sebanyak 300 viral vaksin akan dikirim pada hari Selasa (16/1) ini. "Sudah dilakukan vaksinasi campak pada Dinkes Kabupaten Asmat pada 9 Januari 2018," katanya.

Menurut dia, Bupati Asmat telah menerjunkan empat tim ke empat distrik di wilayahnya, untuk melakukan penanganan terhadap wabah campak."Empat tim yang diturunkan mulai melakukan penanganan pelayanan kesehatan sejak 9 Januari 2018," ujarnya. 

Tim yang dikirim oleh Bupati Asmat, Elisa Kambu sudah kembali pada Sabtu (13/1). Ia menambahkan, spesimen campak itu sudah diambil pada 27 November 2017. "Kita mendiagnosa campak, hasilnya diambil dan dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, dan tanggal 23 November 2017 hasilnya positif campak," ujar dr Rumainum.

Kementerian (Kemenkes) juga menyatakan telah mengerahkan 39 tenaga kesehatan sebagai respon cepat terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat. Nantinya, mereka akan melakukan pengobatan dan imunisasi untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kemenkes, Oscar Primadi mengatakan, pengiriman tenaga kesehatan dari pusat penting dilakukan mengingat KLB gizi buruk dan campak butuh diatasi segera dengan sumber daya manusia (SDM) yang mencukupi dan mumpuni. “Insya Allah hari ini akan dikirimkan tenaga kesehatan sebanyak 39 orang ke Kabupaten Asmat. Keberadaan mereka diharapkan bisa mengatasi KLB gizi buruk dan campak dan gizi buruk secara bertahap,” kata Oscar melalui dalam pernyataan yang diterima Republika.co.id, Selasa (16/1).

Tenaga kesehatan yang dikirim ke sana, Oscar menuturkan, akan dibagi ke dalam dua tim, yakni tim pelayanan kesehatan primer yang akan dikirimkan ke Distrik Sawa Erma, Kolf Braza, dan Pulau Tiga. Ada pula tim pelayanan kesehatan rujukan, tenaga kesehatan nantinya akan dikirim ke RSUD Agats.

Dari 39 tenaga kesehatan itu, 11 di antaranya sebagai dokter spesialis, yakni 1 dokter spesialis bedah, spesialis kulit kelamin, spesialis anestesi, spesialis obgyn, dan spesialis gizi klinik, 3 dokter spesialis anak, 3 dokter spesialis penyakit dalam, dan 4 dokter umum. Adapula 3 orang perawat bedah dan 2 orang penata anestesi. Tenaga kesehatan lainnya, yakni tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, dan surveilans yang melakukan kegiatan dengan tugas yang telah ditetapkan.

Semua tenaga kesehatan tersebut bertugas untuk melayani pengobatan umum, pemindaian kesehatan berupa status gizi anak dan balita, dan pemeriksaan tekanan darah. Dilakukan juga promosi kesehatan berupa penyuluhan, edukasi, dan sosialisasi terutama terkait menjaga kesehatan diri.

Selain pengiriman tenaga kesehatan, dilakukan pula Imunisasi campak. Soal ketersediaan vaksin, masing-masing Puskesmas sudah melakukan pengiriman dan setiap Puskesmas sudah memiliki cold chain menggunakan tenaga solar.

Atas instruksi Presiden Joko Widodo, TNI juga telah mengirim Satgas kesehatan ke Asmat, nantinya di lapangan tim kesehatan yang dikirim Kementerian Kesehatan akan bekerja sama dan saling bahu-membahu dengan tim Satgas kesehatan yang telah dikirim TNI dalam mengatasi masalah gizi buruk dan campak di Asmat, ujarnya.

Tapi apakah tindakan reaktif tersebut cukup guna mengatasi tragedi kesehatan yang terus berulang di Papua? Data menunjukkan, tak demikian adanya. Ada persoalan pemerataan layanan kesehatan yang harus segera disikapi pemerintah pusat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement