REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namun, sejarah mencatat namanya, terutama dalam medan Pertempuran Shiffin, yang merupakan perang saudara pertama di antara sesama Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dalam peperangan ini, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah memihak kepada Ali bin Abi Thalib yang berkontra terhadap Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Awalnya, Qais sempat berupaya merancang upaya konspirasi untuk menjebak orang-orang pendukung Mu'awiyah. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat salah satu firman Allah di dalam Alquran yang memperingatkan bahwa dampak tipu daya jahat akan berpulang ke pelakunya sendiri.
Oleh karena itu, Qais pun mengurungkan niatnya. Kemudian, ia beristighfar kepada Alllah.
Demi Allah, seandainya Mu'awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita, seru Qais kepada pasukannya.
Adapun keberpihakannya kepada kubu Ali bin Abi Thalib bukanlah fanatisme buta. Sebab, sebelumnya Qais bin Sa'ad bin `Ubadah telah menyelidiki sendiri siapa yang sesungguhnya meneguhkan kebenaran. Keberanian yang benar lahir dari pribadi yang jujur dan mendukung kebenaran secara tulus, bukan lantaran keuntungan materiel atau ke kuasaan.
Sebelum pecah Pertempuran Shiffin, Qais mendapatkan amanah sebagai gubernur Mesir.
Ia diangkat oleh Khalifah `Ali bin Abi Thalib. Namun, sejak lama Mu'awiyah mengincar perluasan kekuasaannya ke Mesir.
Terpilihnya Qais menjadi gubernur Mesir membuat Mu'awiyah dan para pendukungnya cemas. Tidak kurang dari Mu'awiyah sendiri yang merencanakan tipu daya demi memusuhi Ali bin Abi Thalib dan mendegradasi kepemimpinannya di mata kaum Muslim.
Sampailah ketika Ali bin Abi Thalib memanggil pulang Qais dari Mesir. Selang beberapa waktu, akhirnya Qais sendiri menyatakan dukungan terbukanya kepada Khalifah Ali. Padahal, Mu'awiyah telah berupaya keras membujuk Qais agar menyeberang dari kubu Ali.
Sebabnya antara lain, Qais tidak merasa Khalifah Ali memecatnya dari jabatan gubernur di Mesir. Jabatan hanyalah amanah yang bersifat sementara. Di sini kita tahu bahwa Qais tidak berambisi pada kekuasaan pribadi, melainkan profesionalisme.
(Baca Juga: Qais bin Sa'ad, Sang Ajudan yang Dermawan)