REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Qais bin Sa'ad bin `Ubadah mengalami masa setelah Khalifah Ali gugur dan putranya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dibaiat menjadi pemimpin. Qais memandang cucu Rasulullah itu sebagai sosok yang mampu memimpin umat. Akan tetapi, bahaya sudah di ambang mata.
Pihak-pihak yang membenci Hasan sudah menggelorakan pelbagai fitnah sehingga menyulut konflik terbuka. Bagaimanapun, Qais tetap teguh di pihak Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Qais lantas memimpin pasukan yang terdiri atas lima ribu prajurit untuk melawan pasukan Mu'awiyah. Dalam pada itu, Hasan meminta para pendukungnya berhenti mengangkat senjata dan mulai berunding dengan kubu Mu'awiyah. Lantas, baiat dilangsungkan terhadap Mu'awiyah.
Di sinilah Qais mulai merenungkan lagi kepelikan konflik internal antarumat Islam itu. Ia tahu dan meyakini betul bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib berada dalam pihak yang benar. Oleh karena itu, Qais berpidato di hadapan ribuan pasukannya.
Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut terlebih dahulu! Tapi, jika kalian memilih perdamaian, aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu.
Ternyata, mayoritas pasukannya memilih jalan perdamaian serta menghendaki keamanan dari Mu'awiyah yang baru saja dibaiat. Untuk itu, Qais menyepakatinya.
Beberapa tahun kemudian, Qais bin Sa'ad bin `Ubadah menemui masa akhir kehidupannya. Ia wafat pada tahun 59 Hi- jriyah di Madinah. Namanya akan selalu dikenang sebagai pribadi yang pemberani, jujur, dan penuh kedermawanan.
(Baca Dulu: Qais bin Saad, Sang Ajudan yang Dermawan)
(Baca Lagi: Kesalehan dan Ketakwaan Qais bin Sa'ad)